Site icon Madurapers

Apa itu Protes Rompi Kuning di Prancis 2018 yang Diungkap Gibran dalam Debat Pilpres?

Suana protes demonstran rompi kuning di Prancis tahun 2018

Suana protes demonstran rompi kuning di Prancis tahun 2018 (Sumber foto: NPR, 2018).

Bangkalan – Protes Rompi Kuning yang mengguncang Prancis pada tahun 2018 menjadi salah satu topik utama dalam Debat Keempat Pilpres 2024, pada Minggu, 21 Januari 2024, Senin (29/1/2024).

Gibran Rakabuming Raka (Gibran), Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2, mengungkapkan peristiwa tersebut dalam tanggapannya terhadap pertanyaan Mahfud MD., Calon Wakil Presiden Nomor Urut 3, tentang mengatasi greenflation (inflasi hijau).

Kata Gibran, kasus protes rompi kuning di Prancis 2018 ini sangat bahaya sekali dan memakan korban. Lalu pertanyaannya, apa sih itu protes rompi kuning di Prancis 2018 tersebut? Berikut paparan informasinya yang dikutip dari NPR.

Protes ini muncul sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah Prancis terkait pajak hijau pada bahan bakar, yang diberlakukannya pada 1 Januari 2018.

Kebijakan tersebut menjadi pemicu protes yang berlangsung hampir sebulan di seluruh Prancis, melibatkan jumlah peserta demonstran mencapai 136.000-280.000 orang.

Gerakan yang dikenal sebagai “rompi kuning” ini bermula dari daerah pedesaan, di mana para pengunjuk rasa awalnya terdiri dari mereka yang harus bepergian jauh setiap hari.

Mereka menentang kenaikan harga bahan bakar yang dianggap sulit dihadapi. Rompi kuning, sebutan untuk gerakan ini, merujuk pada rompi keselamatan yang dikenakan oleh para pengunjuk rasa.

Meskipun gerakan ini awalnya diorganisir melalui media sosial tanpa kepemimpinan resmi, cepat berkembang menjadi protes yang melibatkan berbagai kalangan, termasuk anggota kelas pekerja dan kelas menengah.

Mereka menyuarakan kekecewaan terhadap penurunan standar hidup dan menanggapi kebijakan reformasi Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap mendukung golongan kaya.

Pada awalnya, tuntutan para pengunjuk rasa difokuskan pada pencabutan pajak hijau pada solar, namun seiring berjalannya waktu, tuntutan tersebut berkembang menjadi seruan untuk kenaikan upah minimum dan bahkan pembubaran parlemen nasional untuk mengadakan pemilihan baru. Beberapa bahkan menyerukan pengunduran diri Presiden Macron.

Protes ini, meskipun sebagian besar bersifat damai, berubah menjadi kerusuhan di beberapa tempat ikonik di Paris. Kelompok anarkis “casseurs” dari sayap kiri dan kanan ultraradikal bertanggung jawab atas kekerasan ini. Kerugian total mencapai US$3,4 juta, dan 380 orang berhasil ditangkap oleh polisi Paris setelah kerusuhan.

Jajak pendapat menunjukkan bahwa 72 persen masyarakat Prancis mendukung gerakan rompi kuning, sementara 85 persen menentang kekerasan. Dalam tiga minggu protes, empat orang tewas, termasuk tiga korban kecelakaan lalu lintas akibat blokade jalan rompi kuning, dan seorang wanita berusia 80 tahun di Marseille meninggal akibat cedera saat protes.

Pemimpin politik seperti Marine Le Pen dan Jean-Luc Mélenchon, ketika peristiwa itu berlangsung, berusaha mendekati rompi kuning, namun tak berhasil. Hal ini menunjukkan kekecewaan para pengunjuk rasa terhadap figur politik yang ada.

Presiden Emmanuel Macron, yang mengutuk kekerasan dari Argentina, kembali ke Paris dan mengadakan pertemuan krisis dengan para menteri terkait.

Menteri Dalam Negeri, ketika itu, menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menyatakan keadaan darurat sebagai respons terhadap situasi yang semakin tegang.

Exit mobile version