Site icon Madurapers

Bahasa, Identitas, dan Krisis Eksistensi: Paradoks Keabadian dalam Pelupaan Bahasa Madura

Muhaimin, guru bahasa Madura di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Asshomadiyah, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur

Muhaimin, guru bahasa Madura di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Asshomadiyah, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur (Dok. Madurapers, 2025).

Di Madura, perguruan tinggi (perguruan tinggi negeri dan swasta, red.) sebenarnya memiliki peran penting dalam menjaga keberlangsungan budaya lokal. Namun, keengganannya, minimal salah satu diantaranya, membuka program studi Sastra Madura atau Pendidikan Bahasa Madura memunculkan pertanyaan serius.

Keputusan itu mencerminkan sikap abai terhadap tanggung jawab mencetak tenaga pendidik bahasa lokal. Akibatnya, sekolah-sekolah dasar dan menengah di Madura secara formal tidak ada guru berkompetensi khusus dalam Bahasa Madura.

Sekolah-sekolah tersebut (sekolah dasar hingga menengah pertama, red.) akhirnya mengandalkan lulusan pendidikan bahasa lain. Ketergantungan ini berpotensi memperlemah basis budaya bahasa yang seharusnya dipertahankan.

Bahasa Madura bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa ini adalah wujud konkret identitas dan kebanggaan masyarakat etnis Madura.

Ketika lembaga pendidikan tinggi di Madura mengabaikan pentingnya bahasa ini, institusi tersebut juga mengabaikan eksistensi masyarakatnya. Tanpa guru yang mumpuni, bahasa Madura perlahan kehilangan vitalitasnya.

Proses ini berjalan pelan dan halus namun pasti. Bahasa Madura akan terpinggirkan, dipandang tidak relevan dalam dunia pendidikan.

Jika terus dibiarkan, generasi muda Madura akan tumbuh tanpa kedekatan emosional dengan bahasa leluhurnya. Mereka akan merasa bahasa tersebut tidak memiliki nilai praktis di era modern.

Lembaga pendidikan tinggi di Madura seharusnya menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan kekayaan lokal. Namun, ketiadaan program studi yang relevan dengan bahasa Madura memperjelas adanya jarak antara institusi dan kebutuhan masyarakat.

Setiap bahasa memiliki kekuatan yang mencerminkan pola pikir dan pandangan hidup penuturnya. Kehilangan bahasa Madura berarti kehilangan perspektif unik dari sebuah etnis.

Bahasa lokal bukan sekadar ornamen budaya, tetapi pilar yang menopang keutuhan identitas. Mengabaikannya sama dengan mengikis akar dari pohon kehidupan sebuah komunitas.

Pendidikan memiliki tanggung jawab membentuk manusia yang sadar akan warisan budayanya. Ketika institusi pendidikan gagal memfasilitasi ini, masyarakat kehilangan arah.

Ketidakhadiran program studi Bahasa Madura di perguruan tinggi di Madura menandakan kurangnya kepedulian terhadap masa depan budaya lokal Madura. Ketidakpedulian ini memiliki konsekuensi yang merugikan generasi mendatang.

Bahasa adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Jika jembatan ini rapuh, perjalanan menuju masa depan pun menjadi terputus.

Keengganan perguruan tinggi di Madura membuka program studi ini menciptakan kekosongan. Kekosongan ini mengancam kesinambungan pemahaman budaya lokal di Madura.

Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membatasi. Namun, pilihan untuk tidak menghadirkan pendidikan Bahasa Madura justru membatasi potensi generasi muda Madura.

Bahasa Madura memiliki kekuatan untuk membangun solidaritas dan memperkuat ikatan sosial. Ketika bahasa ini dilemahkan, kohesi sosial pun ikut terkikis.

Bahasa bukan sekadar kata-kata; ia adalah memori kolektif. Kehilangannya berarti hilangnya kisah, nilai, dan makna hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Masyarakat Madura akan menghadapi krisis identitas jika generasi mudanya tidak lagi mampu memahami bahasa leluhurnya. Krisis ini akan berdampak pada rasa percaya diri dan kemandirian budaya.

Tanggung jawab perguruan tinggi di Madura adalah menghadirkan pendidikan yang relevan dan berakar pada kebutuhan lokal. Mengabaikan Bahasa Madura berarti mengabaikan kebutuhan paling mendasar itu.

Bahasa Madura harus dipertahankan bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai alat pemberdayaan masyarakat. Guru-guru yang kompeten adalah kunci untuk menciptakan generasi yang bangga dengan identitasnya.

Jika vitalitas bahasa Madura terus menurun, upaya pelestarian budaya akan menjadi sia-sia. Tanpa bahasa, cerita dan kebijaksanaan lokal akan hilang ditelan waktu.

Bahasa Madura adalah rumah bagi masyarakat etnis Madura. Jika rumah itu roboh, ke mana lagi identitas ini akan bernaung?

Perguruan tinggi di Madura harus menyadari peran strategisnya dalam membangun peradaban lokal. Keputusan untuk membuka program studi Bahasa Madura adalah langkah penting menjaga keberlangsungan budaya.

Menghidupkan Bahasa Madura dalam dunia akademis adalah wujud keberpihakan pada masa depan. Ini bukan sekadar tentang bahasa, tetapi tentang merawat jiwa dan identitas sebuah masyarakat.

Jika lembaga pendidikan tinggi tetap abai, maka sejarah akan mencatatnya sebagai bagian dari peradaban yang membiarkan identitasnya terkikis. Pada akhirnya, yang hilang bukan hanya bahasa, tetapi juga kebanggaan menjadi Madura.

Semoga uraian ini mampu mengetuk relung kesadaran para insan akademik di perguruan tinggi Madura, menggerakkan langkah menuju ikhtiar mulia: membuka program studi Bahasa Madura.

Tak perlu seluruhnya, cukup satu sebagai tonggak awal, sebab dari sebuah pijakan kecil, denyut kehidupan sebuah bahasa dapat terus berdetak—menjaga jati diri, merawat kebudayaan, dan mengabadikan makna di antara arus zaman.

 

Muhaimin, guru bahasa Madura di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Asshomadiyah, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur.

Exit mobile version