Bangkalan – Di era kontemporer, prostitusi menjadi salah satu isu penting dalam pembangunan di pelbagai negara. Hal ini karena profesi yang terkenal paling tua di dunia ini, mulai banyak dilegalkan oleh berbagai negara di dunia, Minggu (22/1/2023).
Melansir dari NPR, meski budaya dan agama menilainya sebagai tindakan tidak bermoral, tapi profesi ilegal ini tetap banyak digeluti oleh sebagian kalangan di negara Thailand, Asia Tenggara.
Jumlah para pekerjanya diperkirakan mencapai jutaan orang. Pada tahun 2004, menurut hasil studi Universitas Chulalongkorn, jumlah pekerja “wisata lendir” ini mencapai 2,8 juta orang. Klasifikasinya, 2 juta berjenis kelamin perempuan, 20 ribu laki-laki, dan 800 ribu dari mereka di bawah usia 18 tahun.
Data itu mengantarkan Thailand menempati peringkat pertama dunia jumlah kuantitas pekerja prostitusi. Menurut informasi World Population Review, baik laki-laki maupun perempuan, mereka itu bekerja di bar lampu merah, panti pijat, go-go bar, dan bar karaoke yang berfokus pada “wisata seks” komersial.
Desakan ekonomi, umumnya menjadi sebab pemicu penduduk Thailand menjadi pelayanan jasa (ber)kawin tanpa nikah resmi. Pelarangan praktek ini dalam regulasi pemerintah, tak membuatnya para pekerja jera. Bahkan, semakin populer dan dipraktekkan secara vulgar.
Mengapa demikian? Hal ini, selain karena faktor desakan ekonomi, juga karena ketentuan/aturan dalam regulasi tersebut samar dan tidak jelas. Selain itu, regulasi tersebut seringkali tidak ditegakkan oleh lembaga/organisasi pemerintahan terkait.
“Wisata lendir” ini memberikan insentif ekonomi yang signifikan bagi banyak warga negara, terutama wanita pedesaan tanpa kompetensi dan keahlian. Dari sektor ini, menurut Gugic (2014) sekitar 60 persen pendapatan nasional Thailand berasal dan sisanya dari sektor ekonomi lain negara ini.
Pendapatan negara dari sektor ini, menurut analisis sebuah perusahaan riset Havocscope, pada tahun 2015 sekitar US$6,4 miliar per tahun. Persentasenya menurut perusahaan riset yang konsen pada kajian pasar gelap ini, mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB) negara Thailand.
Pekerja seks ini, menurut hasil survei Pusat Kajian Asia Tenggara, UGM, sudah ada sejak zaman Ayuthya (1350-1776) dan menjadi industri cukup besar selama Perang Vietnam atau Perang Indochina Kedua (1957-1975).
Di masa perang itu, pasukan Amerika Serikat kerap kali datang ke Thailand. Tujuannya untuk istirahat dan rekreasi sekaligus mencicipi tubuh molek para pekerja “wisata lendir” di Thailand.
Pada tahun 2000-an sekitar 4 juta lebih turis datang ke Thailand untuk mencicipi “wisata seks”. Dari 10 juta turis yang datang 60 persennya adalah laki-laki dan dari turis laki-laki ini 70 persennya datang ke Thailand untuk “berwisata seks”.