Site icon Madurapers

Catatan Kritis Pilkada Serentak 2024 di Madura: Menyibak Tirai Kelam Demokrasi

Gambar ilustrasi Pilkada Serentak Tahun 2024 di Pulau Madura

Gambar ilustrasi Pilkada Serentak Tahun 2024 di Pulau Madura (Dok. Madurapers, 2024).

Bangkalan – Pilkada Serentak 2024 seharusnya menjadi pesta demokrasi yang merepresentasikan kebebasan rakyat untuk menentukan masa depan daerahnya. Yakni, menentukan kepemimpinan pemerintahan daerah yang memimpin arah kebijakan pelayanan dan pembangunan di daerah Madura.

Namun, di Madura, pesta demokrasi ini pada tahun 2024 justru ternoda oleh praktek-praktek tak demokratis yang menyesakkan dada. Harapan akan kompetisi politik yang sehat terkikis oleh bayang-bayang politik uang, hoaks, ujaran kebencian, kecurangan, manipulasi, hingga kekerasan fisik.

Politik uang menjadi ironi terbesar dalam Pilkada 2024 di empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) Madura. Dalam konteks budaya masyarakat yang masih kuat menjunjung nilai patronase, uang sering kali menjadi alat ampuh untuk membeli suara rakyat.

Dari amplop-amplop yang beredar secara diam-diam hingga pembagian “sumbangan” dengan dalih kegiatan sosial, praktik ini menyusup ke dalam lapisan masyarakat, menghancurkan nilai kejujuran dalam demokrasi. Alih-alih memilih berdasarkan visi dan misi, masyarakat kerap terjebak pada pragmatisme sesaat yang akhirnya mengorbankan masa depannya sendiri.

Pilkada Serentak 2024 di Madura juga diwarnai dengan maraknya hoaks dan ujaran kebencian. Media sosial, khususnya TikTok dan Facebook, menjadi ladang subur penyebaran fitnah, dengan informasi palsu yang dirancang untuk menjatuhkan lawan politik.

Tak jarang, narasi yang dimainkan sengaja menyulut emosi dan memecah belah masyarakat berdasarkan kelompok sosial, aliran keagamaan, hingga afiliasi politik. Luka ini bukan hanya mencederai integritas demokrasi, tetapi juga bisa merusak kohesi sosial yang selama ini menjadi kekuatan masyarakat Madura.

Dalam catatan lain, indikasi kecurangan administratif dan manipulasi data pemilih menjadi sorotan tajam. Beberapa laporan menyebutkan adanya penggelembungan suara, pemilih fiktif, coblos berkali-kali, keperpihakan oknum aparat desa, hingga intimidasi kepada kalangan terkait pilkada.

Praktek-praktek semacam ini menunjukkan bahwa sistem Pilkada, yang seharusnya transparan dan adil, sering kali dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan politik dan ekonomi pihak tertentu.

Madura juga menjadi saksi bisu kekerasan fisik dalam kontestasi Pilkada 2024. Perseteruan antara pendukung kandidat kerap berujung bentrokan yang memakan korban jiwa dan melukai orang. Konflik semacam ini bukan hanya merugikan secara materi, tetapi juga meninggalkan trauma sosial yang mendalam.

Catatan kritis pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Madura harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Masyarakat, pemerintah, penyelenggara pilkada, dan pengawas pilkada harus berkomitmen memperbaiki celah kelemahan sistem pilkada dan menegakkan hukum dengan tegas.

Sosialisasi yang lebih masif dan pendidikan politik berbasis nilai-nilai moral perlu digencarkan agar masyarakat sadar akan pentingnya memilih dengan hati nurani, bukan sekadar tergiur iming-iming materi.

Demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan arena perebutan kekuasaan yang sarat manipulasi. Madura, dengan segala potensinya, berhak mendapatkan pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyatnya.

Jangan biarkan politik uang, hoaks, ujaran kebencian, kecurangan, dan kekerasan merenggut mimpi orang Madura akan masa depannya yang lebih baik. Pilkada harus kembali menjadi pesta demokrasi yang jujur, adil, dan bermartabat.

Exit mobile version