Site icon Madurapers

Darma IMANC untuk Kemajuan Pondok Pesantren Nurul Cholil dan Bangkalan

Photo Hoirul Anam saat memberikan sambutan acara di Yogyakarta

Photo Hoirul Anam saat memberikan sambutan acara di Yogyakarta (Dok. Istimewa Madurapers, 2025).

Santri dan alumni adalah dua elemen yang tak bisa dipisahkan. Santri berbicara tentang pencarian ilmu dan pembekalan diri, sementara alumni lebih fokus pada pengabdian. Sebagai bagian dari keduanya, penulis ingin mengulas tentang darma alumni. Karena penulis juga merupakan mahasiswa semester akhir yang tengah menyelesaikan skripsi, pembahasan ini akan lebih spesifik pada peran alumni yang juga masih berproses sebagai mahasiswa.

Secara etimologi, kata “darma”, “khidmat”, dan “ngabdi” berasal dari akar yang sama, yaitu menyerahkan kehidupan sebagai pembantu bagi yang ia abdi. Sebagai contoh, Ibnu Abbas, ketika masih kecil, pernah mengambilkan air untuk Nabi Muhammad SAW saat beliau dalam keadaan membutuhkan. Meskipun kita mungkin menganggapnya sebagai hal kecil, itulah pengabdian yang sejati—tanpa mengenal besar atau kecilnya tugas. Pengabdian berarti ikhlas menjadi pembantu.

Dalam konteks organisasi IMANC, pengabdian berarti tidak membiarkan organisasi ini stagnan atau vakum. Hal yang lebih mendalam lagi adalah pengabdian sebagai parameter ketaatan seorang santri kepada kyai. Bukankah di Pondok Pesantren Nurul Cholil terdapat norma “mon tak atoro’ guruh takok neng belet”? Ini menunjukkan bahwa taat kepada kyai adalah dasar pengabdian.

Sebagai tambahan, mari kita kutip salah satu perkataan Gus Kautsar: “وَعَلَى قَدَرِ الْمَحَبَّةِ تَكُونُ سَرَايَةُ الْحَالِ(“… sesuai kadar kecintaan terhadap masyaikh, maka insyaallah sedalam itu pula karakter masyayikh merasuki jiwa kita”). Pernyataan ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter pada seorang santri itu sesuai dengan kadar kecintaan dan pengabdian kita kepada seorang guru. Sebagai santri Nurul Cholil yang telah dipimpin oleh tiga generasi pengasuh—K.H. Munthasor, K.H. Zubair Muntashor, dan K.H. Abdullah Zubair—kita mengenal tiga karakter mulia mereka: zuhud, disiplin, dan kesabaran. Sejauh mana karakter ini tertanam dalam diri santri, itulah yang akan menunjukkan kecintaan kita.

Alumni dalam pandangan penulis adalah panah, dengan busurnya para masyaikh. Artinya, kita dididik untuk meluncur keluar dari busur menuju titik pengabdian. Pengabdian dan dakwah yang diwariskan kepada alumni adalah kewajiban yang harus dipenuhi.

Sebagai anggota IMANC yang melanjutkan studi di perguruan tinggi, kita mewarisi ilmu dan memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar daripada mereka yang bukan alumni IMANC. Hal ini didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang kita dapatkan selama kuliah. Jangan pernah anggap IMANC sebagai beban, justru sebaliknya, IMANC adalah forum keistimewaan. Namun, keistimewaan ini hanya bisa tercapai jika IMANC dapat berlayar dengan kokoh menghadapi berbagai tantangan.

Selama satu periode kepengurusan ini, kita dapat melihat jelas betapa stagnannya organisasi ini. Faktor penyebabnya bisa saja berasal dari sumber daya manusia (SDM), misalnya ketua dan jajaran pengurus, atau jarak yang jauh antar pengurus yang menyebabkan kelambanan dalam bergerak. Mari kita nilai bersama dan melakukan introspeksi. Namun apapun penyebabnya, tanggung jawab untuk merekonstruksi kemajuan IMANC adalah kewajiban bersama, karena disitulah cermin ketaatan kita kepada para masyaikh Nurul Cholil.

Dua pokok keilmuan IMANC, yaitu agama dan ilmu umum, memberikan titik istimewa bagi IMANC untuk memajukan dan mengharumkan nama Pondok Pesantren Nurul Cholil. Kemampuan anggota IMANC dalam berbagai disiplin ilmu adalah kunci pengabdian kepada pondok pesantren. Oleh karena itu, sangat naif jika kita mengklaim sebagai yang paling taat kepada masyaikh, namun IMANC tetap diam dan tidak berkembang.

Darma IMANC adalah harapan bersama, meskipun bukan harapan utama atau satu-satunya. Yang jelas, masa depan Pondok Pesantren Nurul Cholil sebagian besar bergantung pada kemajuan IMANC, dan kemajuan IMANC bergantung pada kontribusi alumni yang terlibat di dalamnya.

Salah satu hal mendasar yang harus ditanamkan dalam organisasi IMANC adalah berpikir kritis (critical thinking). Budaya berpikir kritis akan menentukan keberlanjutan sumber daya manusia dalam organisasi ke depan. Anggota yang mampu menganalisis masalah dengan tepat, menyusun program secara rasional, membuat keputusan matang, serta mengelola organisasi dengan baik adalah kunci kesuksesan.

Sebagian orang, terkadang menganggap anggota yang kritis sebagai hambatan, karena setiap kebijakan akan selalu dikritisi. Namun, pandangan ini salah. Organisasi harus bangga memiliki anggota yang kritis terhadap kebijakan yang diambil. Karena dari situlah pembangunan SDM yang sesungguhnya dimulai.

Critical thinking bukan hanya tentang mengkritisi kebijakan, tetapi juga tentang siapa yang paling tepat dalam mengidentifikasi masalah, sesuai dengan definisi kritis menurut Martin Suryajaya.

Selain itu, pengabdian IMANC kepada almamater saja tidak cukup; kita juga perlu berkontribusi untuk daerah kita, Bangkalan. Sebagai tempat di mana Pondok Pesantren Nurul Cholil berdiri, kita wajib memberikan sumbangsih. Bentuk kontribusinya bisa bermacam-macam, tergantung pada kebutuhan masyarakat Bangkalan. Jika masyarakat lemah dalam hal ideologi, kita bisa menanamkan ideologi Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Jika lemah dalam pemerintahan, utuslah alumni terbaik IMANC sesuai disiplin ilmunya, sebagai bentuk dakwah melalui pemerintahan.

Penulis menganggap IMANC bukan sekadar tempat untuk berbakti, tetapi juga sebagai harapan bagi masyarakat Bangkalan untuk lebih inklusif, maju, dan mandiri.

Hoirul Anam, Anggota Divisi Intelektual IMANC Pusat.

Exit mobile version