Sampang – Komposisi DPRD Sampang 2024–2029 menunjukkan hanya 4 (empat) dari 45 kursi diisi perempuan. Angka itu berarti representasi perempuan hanya mencapai 8,89 persen, Selasa (24/06/2026).
Partai NasDem menjadi partai terbesar dengan 15 kursi, tapi tak satu pun diisi perempuan. Ini menjadikan NasDem sebagai partai nol persen dalam hal keterwakilan gender.
PPP meraih enam kursi dan hanya menyisihkan satu bagi perempuan, atau 16,67 persen. Sementara PKB yang mengamankan lima kursi tidak memberi tempat bagi perempuan sama sekali.
PDI-P dan PKS masing-masing mendapat empat kursi, dan keduanya memberi satu kursi bagi perempuan. Proporsi ini setara dengan 25 persen dari total kursi mereka.
Gerindra dan PAN sama-sama memperoleh tiga kursi dan seluruhnya untuk laki-laki. Tidak ada representasi perempuan dalam struktur perwakilan dua partai ini.
Partai Demokrat mencatat proporsi tertinggi dengan satu dari dua kursi diberikan kepada perempuan. Dengan 50 persen, Demokrat tampil lebih setara dibanding partai lain.
Golkar, Hanura, dan PBB masing-masing mendapat satu kursi, semuanya diisi laki-laki. Ketiga partai kecil itu juga mencatat keterwakilan perempuan nol persen.
Dari sebelas partai, kata Ahmad Mudabbir, praktisi hukum di Jawa Timur asal Madura, “Hanya empat partai yang menyumbang wakil perempuan: PPP, PDI-P, PKS, dan Demokrat. Tujuh partai lainnya tidak menempatkan satu pun perempuan di DPRD.”
Jumlah keterwakilan perempuan yang ideal, kata Mudabbir,” Dalam komposisi 45 kursi adalah 14 orang sesuai ambang kuota 30 persen perempuan. Artinya DPRD Sampang masih kekurangan 10 perempuan atau 21,11 persen.”
Ketimpangan ini mencerminkan bahwa partai-partai belum serius menjalankan amanat keterwakilan setara. Lembaga legislatif Sampang pun kembali hanya mewakili suara mayoritas laki-laki.
Minimnya jumlah perempuan di parlemen lokal tersebut, ia nilai sebagai cerminan lemahnya kehendak politik partai. Partai gagal memanfaatkan regulasi afirmatif yang sudah tersedia.
“Ketika hanya tiga perempuan duduk di parlemen, maka partai gagal melaksanakan ketentuan regulasi,” kata Mudabbir. Ia menyebut kegagalan ini sebagai bentuk lemahnya komitmen terhadap prinsip keadilan politik.
Menurut Mudabbir, rendahnya keterwakilan perempuan di dewan legislatif lokal, biasanya bukan disebabkan oleh minimnya potensi. Ia menilai karena sistem pencalonan dan dukungan politik dalam pemilihan masih berpihak pada struktur dominan laki-laki.
“Pemenuhan kuota 30 persen perempuan di parlemen itu bukan angka formalitas, tapi untuk menjamin suara dan kepentingan perempuan hadir,” ujar Mudabbir. Ia menilai, bahwa seleksi caleg masih elitis, marginalisasi potensi kader perempuan, dan budaya politik masyarakat masih bias gender.