SEORANG anak yang mendapatkan predikat bodoh tidak akan memeroleh penghargaan dari orang tuanya. Begitu pula yang dialami Dino dengan nilai rata-rata rapornya rendah, hingga ibunya sangat kecewa. Karena itu, ia tidakkunjung dibelikan sepeda setelah sekian lama meminta.
“Kau jangan mengharapkan sepeda kalau nilai rapormu buruk begini,” kesal sang ibu setelah melihat deretan nilai mata pelajaran Dino, dua semester yang lalu.
Dino hanya tertunduk. Ia pun mewajarkan kemarahan sang ibu. Pasalnya, pada semester dua kelas IV SD, nilai rapornya malah merosot ke peringkat sembilan belas di antara dua puluh orang murid di kelasnya. Padahal, sebelumnya nilai rapornya berada di peringkat delapan.
“Aku sungguh tidak paham. Masak Leon bisa masuk peringkat lima besar, sedangkan kau tidak? Apa hebatnya anak itu dibanding kau?” kesal sang ibu lagi, dengan menyebut nama teman sekelas Dino sekaligus tetangganya itu.
“Aku ini malu kepada orang-orang kalau kau bodoh begini.”
“Maaf, Bu,” tanggap Dino, gentar seolah menginsafi kesalahannya.
Sang ibu lantas menggeleng-geleng dan mengempaskan rapor Dino di atas meja.
“Ingat! kalau kau mau sepeda, kau harus memperbaiki nilaimu. Kau harus masuk peringkat lima besar di kelasmu. Paham?”
Dino mengangguk saja sembari menerima kegagalan memiliki sepeda.
Akhirnya, selepas momen penghakiman tersebut, Dino berjuang keras untuk berhasil. Ia bertekad memenuhi persyaratan dari ibunya demi memiliki sepeda. Karena itu, ia jadi lebih giat belajar terutama memelajari mata pelajaran matematika dan pengetahuan alam yang sering mendapatkan nilai buruk.
Tetapi sayang, setelah belajar dengan sungguh-sungguh, ia kesulitan menguasai pelajaran tersebut, seolah-olah memang tidak dianugerahi kemampuan otak untuk memahaminya. Padahal, tanpa perbaikan nilai di bidang itu, ia tidak akan berhasil memenuhi target yang dipatok ibunya meskipun nilainya cukup baik pada pelajaran bahasa, agama, dan kewarganegaraan.
Atas kenyataan itu, ia menjadi sangat kalut. Ia ingin terus mencoba, tetapi merasa tidak akan pernah bisa. Karena itu, ia ingin menyerah saja dan memprotes sang ibu agar tidak memaksakan untuk jago dalam semua mata pelajaran. Ia ingin menagih sepeda tanpa peduli nilai rapornya. Tetapi, dirinya sungguh tidak punya nyali untuk melakukan. Ia takut menuai murka.
Namun peliknya, perhatian sang ibu sebenarnya tidak terfokus pada perolehan nilai rapornya tapi pada tanggapan orang-orang terhadap dirinya. Sang ibu tidak akan mempermasalahkan nilai rapornya jika saja orang-orang tidak mencap dirinya bodoh. Sang ibu bersikap demikian karena terlibat dalam perkumpulan ibu-ibu yang gemar membandingkan pencapaian anak-anak mereka.
Parahnya lagi, sang ibu fokus membandingkan anaknya dengan Leon. Padahal, Leon memang lebih pintar darinya, khususnya, di mata pelajaran matematika dan pengetahuan alam. Leon pun mampu mengimbangi dalam pelajaran yang lain. Karena itu, Leon selalu memperoleh nilai rata-rata yang lebih baik darinya, bahkan terlihat kesenjangan dari waktu ke waktu.
Atas keadaan itu, ia pun mengesalkan persaingan sengit antara ibunya dan ibu Leon. Mula-mula, mereka yang tinggal bersampingan rumah dan hanya diselingi empat rumah bersaing dalam usaha penjahitan, kemudian usaha pertokoan hingga akhirnya, mereka mempersaingkan prestasi anak-anaknya di sekolah, khususnya soal peringkat nilai rapor.
Kerena peraduan nilai berdasar pada sikap saling membanding-bandingkan dari ibu mereka masing-masing, Dino dan Leon pun tidak punya daya untuk menyudahinya. Yang bisa mereka lakukan hanyalah bersabar menerima tuntutan ibu mereka yang tidak berkesudahan. Setidaknya, mereka tidak menampakkan sikap pembangkangan.
Namun beruntung, persaingan ibu mereka tidak berujung pada percekcokan mulut atau pertengkaran fisik yang memalukan. Keduanya hanya saling mempertandingkan gengsi dan harga diri secara diam-diam, sembari berbalas senyuman dan bertegur sapa secara hangat kala bertemu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Untungnya lagi, persaingan itu tidak membuat Dino dan Leon larut mempertarungkan diri. Pasalnya, mereka berteman baik, bahkan berdampingan bangku di dalam kelas. Karena itu, mereka sama sekali tidak merisaukan perihal peringkat nilai rapor. Mereka terus saja berkawan sembari tampil seolah-olah bersaing di hadapan ibu mereka masing-masing.
Atas persahabatan mereka pula, menjelang ujian semester yang lalu, Dino dan Leon mendiskusikan persaingan ibu mereka atas peringkat nilai dirinya. Hingga akhirnya, setelah Dino mengungkapkan keinginannya untuk memiliki sepeda, dan itu hanya bisa terwujud kalau dirinya memenuhi persyaratan nilai dari ibunya, Leon pun iba dan bersedia membantu.
Demi rencana itu, pada saat ulangan mata pelajaran matematika dan pengetahuan alam, Leon pun memberikan sontekan kepada Dino. Dengan sikap hati-hati, Dino lantas menyalin jawaban Leon untuk soal yang tidak mampu ia jawab sendiri. Dan untungnya, sepanjang aksi tersebut, mereka lolos dari pemantauan guru pengawas.
Sampai akhirnya, saat pengambilan rapor, Dino dan Leon mendapati kenyataan yang tidak mereka duga-duga. Nilai rata-rata Dino ternyata lebih tinggi daripada Leon. Ia pun menduduki peringkat empat, sedangkan Leon jatuh ke peringkat enam. Tetapi itu jelas bukan persoalan bagi mereka yang merasa telah berhasil menunaikan rencana rahasia.
Dengan nilai rapor yang baik, hari itu, Dino lantas pulang ke rumahnya dengan penuh kegembiraan. Setelah sampai di rumah, ia lekas menghampiri ibunya dan berucap antusias, “Bu, aku berhasil! Aku dapat peringkat empat,” kemudian menyerahkan rapornya.
Sang ibu sontak terkesima setelah menyaksikan nilai-nilai mata pelajaran Dino. “Wah, luar biasa! Kau hebat, Nak!” pujinya.
Dino pun tersenyum bangga.
Namun perlahan, raut ibunya kembali datar. Sang ibu lalu bertanya serius, “Tetapi, peringkatmu ini lebih baik daripada Leon, kan?”
Dino mengangguk tegas. “Tentu, Bu.”
Seketika, sang ibu kegirangan dan memeluk Dino erat-erat. Setelah sekian lama, sang ibu pun mengurai pelukannya dan berucap dengan nada memanjakan, “Nah, karena prestasimu baik dan berhasil membuatku bangga, besok, aku akan belikan sepeda untukmu.”
Tidak pelak, Dino senang bukan kepalang.
Dan sehari berselang, Dino akhirnya mendapatkan sebuah sepeda setelah sekian lama menanti.
Pada waktu kemudian, Dino pun menjalani hari-hari yang membahagiakan dengan sepeda barunya. Ia merasa sudah setara dengan teman-temannya yang telah lama memiliki sepeda. Ia merasa sangat beruntung memiliki Leon sebagai teman baiknya. Ia merasa berutang budi kepadanya.
Hingga akhirnya, sore ini, ketika Dino tengah duduk bersama Leon di bawah pohon mangga untuk melepas penat selepas bermain sepeda di lapangan dusun, mereka pun kembali membincangkan perihal sikap ibu mereka atas peringkat nilai mereka menjelang ulangan semester.
“Ibuku makin keras saja memaksaku belajar belakangan ini,” tutur Leon kemudian. “Ia ingin aku kembali memperbaiki peringkat nilaiku dan mengalahkan peringkatmu.”
Dino pun mendengkus. “Ah, keadaanku malah sebaliknya. Belakangan, ibuku tampak tidak terlalu memedulikan persoalan nilai raporku. Ia seolah yakin saja kalau aku akan bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan peringkatku,” tanggapnya, lantas tergelak pendek. “Karena itu, aku tenang-tenang saja. Apalagi, ia memang tidak menjanjikan apa-apa lagi kepadaku terkait perolehan nilaiku nanti.”
Menyaksikan sikap tenang Dino, Leon pun mempertimbangkan kepentinganya sendiri. Sampai akhirnya, ia mengambil kesimpulan, “Kalau begitu, aku tidak perlu lagi membantumu dalam ujian nanti. Kita sebaiknya mengerjakan soal dengan usaha kita masing-masing. Apalagi, ibuku telah menjanjikan perangkat PlayStation versi terbaru kepadaku kalau aku berhasil mengalahkanmu.”
Bukannya khawatir atas rencana Leon, Dino malah tampak terkesima. Ia kemudian menyidik, “PlayStation? Permainan yang mahal dan canggih itu?”
Leon mengangguk. “Kalau aku mendapatkan perangkat gim itu, kita bisa bermain bersama.”
Akhirnya, Dino tersenyum semringah. Ia mengkhayal serunya bermain PlayStation. Namun perlahan, ia berubah murung. Ia bimbang di antara dua pilihan: menyerah saja untuk dikalahkan Leon demi bermain PlayStation, atau berjuang keras secara mandiri untuk mencundangi Leon demi tetap menyenangkan ibunya.
“Jangan khawatir. Ini hanya soal hadiah,” timpal Leon, seolah bisa membaca perasaan Dino. “Jika aku mengalahkanmu pada semester ini, maka semester depan, ketika ibumu kembali menjanjikan hadiah untukmu demi mengalahkanku lagi, aku akan membantumu.” Ia lalu menggoda Dino dengan mengedut-ngedutkan alisnya. “Bagaimana? Tidak masalah, kan?”
Dengan renungan sepintas, Dino lantas mengangguk. “Ya. Idemu bagus.”
Leon pun jadi senang.
Mereka kemudian tertawa gembira.
*Ramli Lahaping adalah kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).