Site icon Madurapers

Hikmah Memahami Budaya Tahun Baru Masehi

Mohammad Fauzi adalah peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi

Mohammad Fauzi adalah peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) (Dok. Madurapers, 2024).

Perayaan Tahun Baru (Masehi) telah menjadi tradisi yang mendunia, melintasi batas-batas geografis, agama, dan budaya. Meski berakar dari kalender Gregorian (atau kalender Gregorius) yang diperkenalkan pada abad ke-16—oleh Dr. Aloysius Lilius dan disetujui oleh Paus Gregorius XIII—maknanya kini telah berkembang menjadi simbol refleksi, harapan, dan persatuan umat manusia. Dalam memahami budaya Tahun Baru (New Year), terdapat banyak hikmah yang dapat dipetik, terutama dalam perspektif sosial, spiritual, dan kultural atau budaya.

Dari sudut pandang sosial (sosiologis), perayaan Tahun Baru adalah momentum yang menyatukan masyarakat lintas budaya. Malam pergantian tahun ini sering diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari pesta kembang api, doa bersama, hingga kegiatan tradisi unik lokal.

Dalam tulisannya yang terkenal, sosiolog Emile Durkheim The Elementary Forms of Religious Life (1912), mengemukakan bahwa ritual bersama, termasuk perayaan publik, memperkuat solidaritas sosial dan menciptakan rasa kebersamaan. Dalam konteks ini, Tahun Baru adalah ajang untuk merajut kembali hubungan sosial yang mungkin renggang selama setahun penuh.

Secara spiritual, Tahun Baru memberikan kesempatan bagi individu untuk merenungkan perjalanan hidupnya selama 1 (satu) tahun. Dalam tradisi Timur, khususnya di Jepang, Tahun Baru dipandang sebagai saat untuk membersihkan diri secara lahir-batin dan memulai lembaran baru. Tradisi ini dikenal dengan Osoji, Hatsumode, dan Joya no Kane.

Filosofi Zen bahkan menekankan pentingnya moment of renewal (momen pembaruan) sebagai cara untuk mendekatkan diri pada ketenangan batin. Pandangan ini selaras dengan ide yang dikemukakan oleh psikolog Carl Rogers dalam karya ilmiahnya On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy” (1961), bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk terus berkembang dan memperbarui dirinya, yang sering kali dimulai dari refleksi mendalam.

Dari perspektif kultural, memahami budaya Tahun Baru membuka wawasan akan keanekaragaman tradisi. Di beberapa negara, perayaan ini diwarnai dengan simbol-simbol keberuntungan, seperti makan hidangan tertentu di Spanyol (Eropa) atau mengenakan pakaian berwarna tertentu di Brasil (Amerika Selatan).

Sementara itu, di Indonesia, tradisi Tahun Baru sering kali dipadukan dengan berbagai kegiatan adat lokal, seperti dzikir akbar atau pesta rakyat. Memahami tradisi ini tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga memperluas toleransi terhadap keberagaman budaya dunia.

Namun, penting juga untuk memahami bahwa perayaan Tahun Baru tidak selalu relevan bagi semua individu. Ilmuwan budaya seperti Clifford Geertz dalam karya ilmiahnya The Interpretation of Cultures: Selected  Essays” (1973) menekankan bahwa setiap budaya memiliki makna simboliknya sendiri yang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Oleh karena itu, penting untuk merayakan Tahun Baru dengan cara yang menghormati nilai-nilai pribadi dan kolektif.

Jadi, dapat ditafsir bahwa hikmah memahami budaya Tahun Baru Masehi terletak pada pengakuan akan nilai-nilai universal yang dibawanya, yakni: refleksi, persatuan, dan harapan. Dengan membuka diri terhadap tradisi ini, kita tidak hanya merayakan sebuah momen dalam kalender, tetapi juga menghormati perjalanan waktu dan makna yang dihayati oleh umat manusia di seluruh dunia.

Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Arnold Toynbee dalam karya ilmiahnya yang terkenal A Study of History (1946), “Peradaban bertahan bukan karena stagnasi, tetapi karena kemampuannya untuk belajar, beradaptasi, dan menghormati nilai-nilai lintas budaya.” Mari jadikan Tahun Baru 2025 sebagai momentum untuk tumbuh, belajar, dan merayakan keberagaman yang memperkaya kita semua.

 

Mohammad Fauzi adalah peneliti di Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) (Dok. Madurapers, 2024).

Exit mobile version