Site icon Madurapers

Ibu Tuti dan Lebaran Tahun Ini

Jakfar Shodik Romli (Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Bintang Muda Indonesia Provinsi Jawa Timur)

Pungkas sudah bulan Ramadhan ditahun ini. Bulan yang menjadi titik tambal sulam kesalahan selama sebelas bulan yang saya jalani. Seperti ramadhan-ramadhan sebelumnya, tahun inipun saya menjalani rutinitas itu hampir sama dengan tahun lalu. Berupaya untuk sesering mungkin bersama anak-anak, berkumpul bersama keluarga dan cukup membatasi diri untuk keluar rumah.

Demikian pula dalam hal memenuhi kewajiban saya untuk menemani anak-anak. Anak-anak yang jauh dari rumah dan dititipkan oleh orang tua mereka untuk mengaji. Memang tidak banyak, dan semoga tidak banyak, hanya hitungan jari. Mereka yang tinggal dirumah, sudah pulang dan berkumpul bersama-sama bapak-ibunya. Setelah ditempa dalam kurun waktu 11 bulan dan sering saya abaikan. Sedangkan anak-anak yang lain, tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah saya.

Menjadi tekad saya dalam setiap Ramadhan untuk sesering mungkin mengaji bersama mereka. Bukan kajian yang berat dan membutuhkan olah pemikiran hebat. Karena itu jauh dari kemampuan yang saya miliki. Sekedar membaca ulang buku-buku atau kitab yang sudah saya maknai dari almarhum bapak, guru-guru dan kiai saya. Harapan saya cuma satu, setidaknya saya tidak melupakan apa yang pernah saya pelajari.

Diantara anak-anak yang tinggal disekitar rumah, terdapat tiga bersaudara yang mengaji bersama saya, keluarga Ibu Tuti. Yusuf yang paling tua, Tuti yang nomor dua dan Yunus yang tahun ini usianya ditahun kelima. Si Yusuf berperan laiknya pengawal bagi kedua adiknya. Dia akan terlihat berjalan dibelakang keduanya saat mereka berjalan bersama menuju musholla. Tuti pun berlaku sama, tak segan memegang tangan Yunus dengan tubuh keringnya.

Potret keluarga mereka, khas masyarakat urban yang hidup dikota besar seperti Surabaya dengan berbagai macam himpitannya. Tinggal dikost ukuran 3×3 meter, dengan bermacam-macam perabot rumah tangga. Bercengkrama, tidur dan segala aktifitas keseharian yang jamak dilakukan oleh orang yang lain. Ya, itulah dunia mereka, dunia yang dikelilingi oleh berbagai jenis mesin, alat-alat berat dan gudang-gudang yang sering kali acuh dan berdiri dengan pongahnya.

Ibu Tuti dan keluarganya tetap bertahan walaupun dikalahkan oleh sistem yang diciptakan. Berulang kali suami ibu Tuti meluangkan waktu mengobrol bersama saya, bercerita kalau sudah selesai pekerjaannya sebagai kuli bangunanan. Dan sekarang masih menunggu kabar dari pekerjaan yang belum jelas, denguhnya. Ada tatapan putus asa ditengah semangat yang acap kali dipaksakan. Dia kembali tersenyum seperti halnya Ibu Tuti dan anak-anaknya lakukan. Mereka selalu menjalani himpitan hidup dengan tersenyum, iya mereka tersenyum. Satu keluarga!. Mengeluhpun tidak pernah saya mendengarnya. Apalagi sampai merendahkan diri mereka dengan cara meminta-minta.

Si Yusuf sudah cukup bahagia dengan sepeda BMX bututnya itu. Acapkali saya secara kebetulan melihat dia dari balik jendela menuntun sepedanya, tepat disaat dia melintas didepan pintu rumah, lalu menaikinya kembali. Sikap yang sangat langka ditengah kerasnya kehidupan kota. Dia tidak banyak bicara, sesekali menyahut saat saya mengajaknya berbicara. Iya Gus, Bukan Gus, sependek itu.

Si Tuti sering bermain dengan bonekanya yang hampir lapuk. Ada juga beberapa mainan berupa hewan-hewan yang jumlahnya tidak seberapa. Dan Si Yunus hobinya bermain diantara mesin-mesin dan alat-alat berat milik bengkel tetangga. Sesederhana itu mereka menjalani hidup, bahkan disaat mereka berkumpul bersama anak-anak yang lain. Bermodal tiga ribu rupiah untuk mereka bertiga sebagai uang sakunya, melebur tanpa beban. Tersenyum!.

Ibu Tuti yang hebat itu, setiap harinya memakai pakaian sangat sederhana. Celana sebatas lutut dan kaos lengan pendek dengan warna senada. Mukena hanya dipakai ketika dia melaksanakan shalat, selebihnya tetap menggunakan pakaian itu. Ke Pasar, sekolah atau bahkan ketika akan mencari kekurangan membayar kos bulanannya. Dia mengayuh pedal sepeda berkilo meter jauhnya, dengan ciri khas, tersenyum tanpa aling-aling.

Menjelang subuh, tanggal 24 Ramadhan kemarin saya pura-pura bertanya ke Ibu Tuti, pertanyaan yang sering saya lontarkan di setiap penghujung bulan Ramadhan. “Mudik, Bu?”, “Nggak, Gus” Jawabnya. Dan lagi-lagi tersenyum sambil melipat mukena. Ini pertanyaan kelima kalinya saya utarakan dan jawabannya pun masih sama. Terasa pecah dada saya. Meletup dan menguap sampai diujung gendang telinga, lima kali lebaran keluarga mereka tidak mudik.

Saya merasa tertampar, selama ini kadang terbersit bahwa sayalah yang mengajari mereka mengaji. Kenyataannya, Ibu Tuti dan anak-anaknya yang mengajari saya mengaji. Mengaji tentang hidup dan bagaimana cara menjalaninya. Kecongkaan dan kesombongan saya menutupi secara nyata. Kuasa ekonomi adalah sumbunya. Itupun terkadang saya masih merasa kurang, hiingga beberapa pinjaman online yang sekarang menjamur itu berjejer rapi, lengkap di smartphone saya.

Ini kejadian yang sebenarnya, saya tidak mengada-ada. Kesan Ramadhan tahun ini memberikan saya pelajaran penting. Dan sengaja saya tulis agar kelak bisa dibaca oleh anak-anak kandung saya. Bahwa kebahagiaan akan muncul bersama rasa syukur kepada Sang Pencipta. Diluar sana, mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan ibu Tuti yang mengalami hal yang sama. Tidak bisa mudik bukan karena Corona, atau bahkan larangan rezim penguasa, melainkan himpitan ekonomi penyebab utamanya.

Terimakasih Ibu Tuti.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H.

Mohon Maaf Lahir Batin.

Exit mobile version