Yahya Cholil Staquf atau dipanggil Gus Yahya memanggil beberapa pimpinan NU untuk bertabayun atas dugaan keterlibatan politik praktis dengan pemberian dukungan bagi bakal calon presiden 2024. Itu tidak terlepas janji kampanyenya sebelum Muktamar ke-34, yang akan mengembalikan khittoh NU sebagai organisasi sosial-keagamaan dan tidak berpolitik praktis yang berorientasi pada kekuasaan.
Konsekuensinya, NU tidak ada kepentingan, baik langsung atau tidak langsung, dalam kontestasi politik dan tidak masuk dalam pusaran konflik, yang mungkin bisa menjadi penengah dalam situasi tertentu dan independen dengan mengedepankan politik kebangsaan yang lebih luas.
Ketua PCNU Banyuwangi dipanggil setelah PBNU menerima laporan adanya agenda politik Pemilihan Presiden 2024, yang melibatkan PCNU Banyuwangi. Bahkan, kegiatan itu juga digelar di kantor PCNU Banyuwangi pada Rabu, 19 Januari 2022.
Sedikit berbeda dengan pemanggilan PCNU Sidoarjo, yang didasarkan adanya laporan kegiatan yang diinisiasi salah satu parpol dan melibatkan seluruh MWCNU setempat.
Selanjutnya, PBNU memanggil ketua PCNU Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, Abdul Qadir Syam usai menyebut “Bukan PKB yang Peralat NU, tapi NU yang Peralat PKB”. Pernyataan itu dianggap perlu klarifikasi agar tidak memunculkan persepsi yang liar dan tidak terkendali, khususnya bagi nahdliyin.
Mungkin sebagian pihak menilai bahwa pemanggilan PBNU kepada para pimpinan di tingkat cabang itu dianggap berlebihan, namun tidak sedikit pula mendukung bahkan mendorong karena seharusnya NU tidak dibawa-bawa ke ranah politik praktis dan menjadi alat kekuasaan, seperti periode-periode sebelumnya.
Membaca Kebijakan Gus Yahya
Kebijakan Gus Yahya tidak muncul dari ruang kosong, melainkan tidak lepas dari janji kampanye dan isu-isu yang sering dilontarkan di berbagai kesempatan, jauh sebelum digelar Muktamar NU ke-34 di Lampung beberapa waktu lalu.
Gagasan konsolidasi nasional dari tingkat PBNU, PWNU hingga PCNU dilontarkan sebagai bentuk komitmen atas aspirasi yang berkembang di tengah nahdliyin. Munculnya gagasan itu didasari atas kondisi yang ada selama ini antara PBNU, PWNU, dan PCNU yang kerap berjalan dengan gagasannya sendiri. Bahkan yang lebih fundamental, mengambil jarak dalam ranah politik praktis dan tidak ada lagi capres-cawapres dari PBNU.
Kepemimpinan baru di NU mencoba untuk merajut kembali cita-cita ideal, yang pernah disuarakan oleh para pendahulunya, seperti Gus Dur, Gus Mus, dan tokoh besar lainnya, yang selama ini mulai kehilangan arah dengan hiruk pikuk politik praktis dan kekuasaan yang dianggap telah melenceng jauh dari arah yang semestinya.
Terlepas suka atau tidak, gagasan yang ditawarkan itu ternyata mendapatkan dukungan luar biasa—baik dari internal maupun eksternal NU—dan puncaknya terpilih menjadi Ketua PBNU, melampaui perolehan suara dukungan para lawannya yang incumbent yang tidak bisa dianggap ringan.
Latar belakang ini yang mendasari pemanggilan beberapa PCNU di Jawa Timur untuk ber-tabayun dan memberikan penjelasan kepada PBNU, agar kejadian kelam masa lalu tidak terulang kembali dan berimbas pada agenda-agenda besar, yang tidak hanya berkutat di wilayah domestik dan nasional, tetapi juga di tingkat global dengan isu-isu kemanusiaan, peradaban, dan keadilan.
Langkah cepat dan tegas itu dinilai sebagian pihak sangat berlebihan, mengekang NU di daerah dan cenderung memiliki agenda politik khusus yang tidak menguntungkan kelompok politik tertentu, karena tidak bisa lagi membawa NU sebagai instrumen politik. Pendapat yang lebih ekstrim juga muncul sebagai bentuk penjegalan kepada salah satu calon capres atau cawapres tertentu.
Namun, dengan melakukan pembiaran akan banyak lagi pengurus-pengurus di daerah yang tidak terkendali dan terjebak pada praktek politik praktis, dengan aksi dukung-mendukung, baik di pileg, pilpres, pilkada, dan pilkades. Tentu, hal ini akan menguras pikiran, waktu, dan tenaga yang akan masuk pada pusaran konflik-konflik kekuasaan yang dapat merugikan NU secara kelembagaan.
Kebijakan itu bisa dirunut secara keorganisasian sejak keputusan yang telah diambil mulai Muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang. Keputusan ini semakin menguat pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo yang menegaskan bahwa NU kembali ke khittah 1926. Keputusan ini kemudian disempurnakan pada Muktamar ke-28 tahun 1989 di Yogyakarta.
Pengambilan keputusan “mengambil jarak dengan kekuasaan”, NU diharapkan lebih independen dalam melihat masalah-masalah kebangsaan, sehingga menjadi kekuatan masyarakat sipil (civil society) yang sangat diperhitungkan di Indonesia.
Pastinya akan berbeda kalau dekat dengan politik praktis, yang berimbas pada kesulitan self-positioning saat terjadi gesekan/konflik yang tidak mungkin bisa dihindari dalam ranah politik praktis. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari kontestasi.
Masuk ke pusaran konflik tersebut dapat dinilai tidak strategis bagi NU sebagai kekuatan mayarakat sipil, yang tentu akan membelenggu independensinya berhadapan dengan kekuasaan.
Menjalankan Representasi Politik Nahdliyin
Dalam representasi politik, pemimpin yang dipilih harus mampu bertindak untuk dan atas nama yang diwakili. Representasi ini berkembang tidak hanya bersifat formal melainkan yang lebih mendasar bersifat subtansial.
Kegelisahan nahdliyin dalam melihat dinamika politik NU, yang cenderung sangat dekat dengan politik praktis, harus menjadi perhatian elit dan diartikulasikan dalam setiap aksi dan kebijakan organisasi.
Isu yang dimunculkan Gus Yahya setidaknya mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi organisasi yang sering terjebak pada kepentingan elit dan abai terhadap kepentingan nahdliyin.
Amanat kembali khittah NU muncul dari muktamar ke muktamar, tapi dalam pelaksanaannya, khususnya setelah reformasi dan pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai salah satu partai politik yang bisa survive, hingga saat ini sangat sulit dilaksanakan. Hal ini karena adanya dorongan kekuasaan sangat menggiurkan dan sulit ditolak.
Kedua, dimensi aspirasi warga nahdliyin, yang mengharapkan ada perubahan perilaku politik elit NU, yang dinilai melenceng dari cita-cita sebenarnya. Aspirasi itu menggelinding seperti bola salju yang kian besar dan puncaknya muncul dalam momentum muktamar dengan semangat baru kembali ke khittah.
Gus Yahya dinilai representatif oleh muktamirin untuk memperjuangkan aspirasi itu, walaupun akan ada banyak tantangan, hambatan, dan ancaman yang akan menjadi ganjalan ke depan.
Pengambilan jarak dengan politik praktis, dapat mencegah NU menjadi instrumen politik kekuasaan. Selain itu, netralitas NU dalam penentuan capres dan cawapres tidak semata-mata murni kehendak Gus Yahya, tetapi merupakan amanat muktamar, yang diformulasikan dalam suatu kebijakan serta diartikulasikan sebagai perwujudan konkrit dalam setiap program aksi.
Tidak menutup kemungkinan, banyak pihak yang merasa tidak diuntungkan, walaupun juga tidak dirugikan dengan keputusan itu. Kebijakan itu juga bisa memunculkan perlawanan dari pihak tertentu, karena merasa tidak diuntungkan.
Namun untuk melaksanakan keputusan itu dibutuhkan kebulatan tekad dan komitmen tinggi, yang tentu akan diuji oleh perjalanan waktu, dimana perkembangan dinamika politik terus berubah, khususnya menjelang pesta lima tahunan yang akan digelar 2024. Wallahu a‘lam bi as-shawab.
Abdul Mukhlis, Pemerhati Sosial Politik dan Kebijakan Publik, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya.