Max Stirner, seorang filsuf yang terkenal karena pemikirannya yang radikal, dikenal luas melalui karyanya yang monumental, Der Einzige und sein Eigentum (The Ego and Its Own). Buku ini memberikan landasan bagi pemikiran anarki individualis dan egoisme filosofis. Meskipun kontribusinya sering terlupakan dalam diskursus akademik, pemikirannya tetap memberikan pengaruh besar terhadap kritik ideologi, kebebasan individu, dan anti-otoritarianisme.
Stirner lahir dengan nama Johann Kaspar Schmidt pada 25 Oktober 1806 di Bayreuth, Kerajaan Bavaria. Ia tumbuh dalam kondisi yang sederhana setelah kehilangan ayahnya saat masih kecil. Nama “Max Stirner” diberikan karena dahi lebar yang dimilikinya, yang dalam bahasa Jerman disebut Stirn.
Setelah menamatkan pendidikan di Universitas Erlangen dan Universitas Berlin, Stirner memulai kariernya sebagai guru di sekolah swasta di Berlin. Di sana, ia bergabung dengan kelompok intelektual radikal yang dikenal sebagai “Die Freien,” yang beranggotakan tokoh-tokoh seperti Bruno Bauer dan Arnold Ruge.
Namun, Stirner memisahkan diri dari kelompok tersebut karena pandangannya yang jauh lebih radikal. Ia kemudian mengembangkan pemikiran yang lebih pribadi, yang menekankan kebebasan individu tanpa terikat oleh norma-norma eksternal. Kehidupannya pun dipenuhi oleh kesulitan, termasuk pernikahannya dengan Marie Dähnhardt yang berakhir tragis.
Pernikahan Stirner berakhir ketika ia kehilangan seluruh warisan istrinya akibat investasi yang gagal. Meski demikian, ia tetap teguh dengan pemikirannya yang radikal, hidup dalam kesederhanaan, dan meninggal pada 26 Juni 1856 di Berlin, kemungkinan akibat infeksi gigitan serangga.
Karya utama Stirner, The Ego and Its Own, menyajikan kritik tajam terhadap berbagai institusi dan ideologi yang dianggapnya sebagai “hantu” (spooks) yang mengekang kebebasan individu. Ia menolak konsep-konsep seperti Tuhan, negara, moralitas universal, dan bahkan umat manusia sebagai bentuk penindasan terhadap individu.
Inti dari pemikiran Stirner adalah egoisme, pandangan yang menganggap individu seharusnya bertindak berdasarkan kepentingannya sendiri tanpa terikat pada norma eksternal. Ia mengusulkan konsep “persatuan egois,” yaitu bentuk kerjasama sukarela antara individu berdasarkan manfaat bersama, bukan kewajiban moral atau kontrak sosial.
Dalam The Ego and Its Own, Stirner membagi bukunya menjadi dua bagian utama. Bagian pertama mengkritik berbagai ideologi, termasuk agama, sosialisme, dan liberalisme, yang dianggapnya membentuk perbudakan baru. Stirner menunjukkan bahwa ideologi tersebut mengekang kebebasan individu melalui norma dan hukum yang mengikat.
Bagian kedua buku ini berfokus pada konsep egoisme Stirner, mengajak pembaca untuk menyadari bahwa nilai dan norma yang kita anut hanya merupakan konstruksi sosial yang bisa kita dekonstruksi. Stirner mengusulkan “kepemilikan diri” sebagai langkah pertama menuju kebebasan sejati.
Meskipun The Ego and Its Own tidak populer pada masa penerbitannya, buku ini memperoleh perhatian lebih besar di kemudian hari. Anarkis, nihilist, dan filsuf eksistensialis kemudian merujuk karya ini sebagai sumber inspirasi bagi pemikirannya.
Pengaruh Stirner terhadap pemikiran politik dan filsafat sangat besar meskipun tidak langsung. Karya-karyanya menjadi dasar bagi anarki individualis dan menginspirasi tokoh-tokoh seperti Benjamin Tucker dan Emma Goldman. Stirner dianggap sebagai salah satu pendahulu eksistensialisme karena penekanannya pada kebebasan individu.
Karl Marx dan Friedrich Engels memberikan respons terhadap Stirner dalam karya mereka Die Deutsche Ideologie, meskipun mereka mengkritik pandangannya dengan tajam. Walau demikian, perhatian yang mereka berikan kepada Stirner menunjukkan betapa besar dampak pemikirannya di kalangan pemikir radikal pada saat itu.
Pada abad ke-20, Stirner semakin dikenal dalam aliran filsafat post-strukturalis dan dekonstruksi. Michel Foucault dan Gilles Deleuze menggemakan kritik Stirner terhadap kekuasaan dan ideologi dalam konteks yang lebih kontemporer.
Max Stirner memang hidup dalam kesederhanaan, namun pemikirannya tetap relevan hingga hari ini. Pandangan radikal tentang egoisme dan kebebasan individu memberikan wawasan yang mendalam dalam diskusi tentang resistensi terhadap otoritas dan pembebasan individu.
Pandangannya tentang pentingnya mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap mutlak, termasuk konsep tentang diri kita sendiri, tetap menggugah pemikiran filsafat dan aktivisme politik. Stirner mengingatkan kita untuk terus mempertanyakan dan menggugat struktur sosial yang mengekang kebebasan pribadi.
Max Stirner adalah pemikir yang menantang arus utama pada masanya. Meski sering diabaikan dalam sejarah, pengaruh pemikirannya tetap besar, terutama dalam dunia pemikiran radikal dan anti-otoritarianisme. Stirner dengan keberaniannya memperkenalkan gagasan yang masih relevan hingga saat ini.