Tokoh  

Ke’ Lesap Pejuang Eksistensi Diri

Foto Ilustrasi Ke' Lesap.

Ke’ Lesap (sebutan lain Pak Lesap dan Pak Nesap) menurut cerita rakyat (folklore) adalah anak Cakraningrat V (Pangeran Sidomoekti), raja Keraton Bangkalan, Madura Barat, dari seorang selir yang bernama Nye (Nyai) Ageng Dewi Maduratno atau dikenal Nye Pocong. Cakraningrat V ini berkuasa di Keraton Bangkalan, Madura Barat, pada tahun 1745-1770 M.

Nye Pocong adalah seorang perempuan cantik dari desa Pocong. Konon, menurut cerita rakyat Nye Pocong sebelum nikah dengan Cakraningrat V merupakan kembang Desa Pocong (Desa Pocong, masuk wilayah Kecamatan Tragah, Kabupaten Bangkalan).

Sebagai anak dari seorang selir, tentu perlakuan Keraton Bangkalan berbeda dengan putra mahkota, anak dari permaisuri Cakraningrat V. Peminggiran keberadaan dirinya (eksistensinya) dari keluarga Cakraningrat V membuat Ke’ Lesap tidak menjadi bagian penting dari keluarga bangsawan.

Pengetahuan dirinya yang terbuang dari keluarga bangsawan diperoleh dari penuturan ibunya sendiri, Nye Pocong. Dalam cerita rakyat dijelaskan bahwa ketika Ke’ Lesap remaja ibunya menuturkan kepadanya bahwa dirinya merupakan anak dari Cakraningrat V.

Mengetahui dirinya anak yang terbuang mendorong Ke’ Lesap memperjuangkan eksistensi dirinya sebagai manusia hebat, bukan pengakuan sebagai keluarga bangsawan. Menjadi penguasa Madura, Tapal Kuda, dan bahkan Bali merupakan mimpinya.

Namun, dia sadar bahwa mimpinya tidak akan tercapai karena ada hambatan aturan kerajaan dan Vereenigde Oostindische Compagne (VOC) Belanda. Menyadari hal itu, dia mengambil jalan alternatif untuk merealisasikan mimpinya dengan cara memberontak pada raja yang berkuasa di Madura.

Inilah cara khas Ke’ Lesap memperjuangkan eksistensi dirinya. Eksistensi diri di dunia yang diperjuangkan secara kongkrit, individual, unik, dan tidak berasal dari orang lain (keluarga bangsawan). Pengambilan keputusan dan pilihan “melakukan pemberontakan” pada kekuasaan para raja penguasa Madura menentukan kehidupannya sebagai “pemberontak” yang didukung rakyat jelata.

Dukungan rakyat diperoleh Ke’ Lesap—di samping karena dia sebagai guru ngajinya, kepedulian sosialnya, dan kesaktiannya—karena raja-raja Madura ketika itu kurang memperhatikan nasib rakyatnya dan di bawah kendali VOC Belanda.

Dengan dukungan pengikut dan panglima perangnya yang bernama Raden Buka, Ke’ Lesap menyerang Keraton Sumenep dan Keraton Pamekasan sekitar abad ke-18-an. Penyerangan ini berhasil menundukkan dua keraton ini.

Pangeran Ario Cokronegoro V/Raden Alza, Adipati Keraton Sumenep XXVIII, ketika terjadi penyerangan melarikan diri ke Surabaya untuk meminta perlindungan VOC, sedangkan Tumenggung Ario Adikoro IV/Raden Ismail, Adipati Keraton Pamekasan, meninggal dunia di arena pertempuran yang terjadi di Pamekasan.

Namun, ketika penyerangan dilanjutkan ke Keraton Bangkalan, pasukan Ke’ Lesap dapat dikalahkan oleh pasukan gabungan Keraton Bangkalan dan VOC. Awalnya, pasukan Ke’ Lesap memukul mundur pasukan gabungan Keraton Bangkalan dan VOC.

Dengan siasat licik, akhirnya Raden Cakraningrat V dapat membunuh Ke’ Lesap, anaknya sendiri. Ke’ Lesap dibunuh Raden Cakraningrat V dengan tombaknya yang bernama Ki Neggolo.