Site icon Madurapers

Ketimpangan TPT Indonesia: Indikasi Ada Masalah Struktural di Pasar Kerja

Ilustrasi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2025

Ilustrasi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Februari 2025 (Sumber Foto: Istimewa).

Jakarta – Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2025, menurut data BPS, berada di angka 4,76 persen. Artinya, dari setiap 100 orang angkatan kerja, sekitar lima orang masih belum mendapatkan pekerjaan, Selasa (20/05/2025).

Jika dibandingkan dengan Februari 2024, TPT mengalami penurunan sebesar 0,06 persen poin. Meskipun penurunan ini kecil, namun menjadi indikasi perbaikan kondisi ketenagakerjaan secara nasional.

TPT laki-laki tercatat sebesar 4,98 persen, lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hanya mencapai 4,41 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa laki-laki masih menghadapi tantangan yang lebih besar dalam memperoleh pekerjaan.

Namun, tren tahunan menunjukkan adanya peningkatan TPT laki-laki sebesar 0,02 persen poin. Di sisi lain, TPT perempuan justru turun sebesar 0,19 persen poin, yang berarti perempuan relatif lebih sukses dalam memasuki pasar kerja.

Perbedaan kondisi geografis juga berkontribusi terhadap variasi TPT. Di wilayah perkotaan, TPT mencapai 5,73 persen, sedangkan di perdesaan hanya 3,33 persen.

Meskipun TPT di kedua wilayah menurun dibandingkan tahun sebelumnya, disparitas antara kota dan desa tetap nyata. Penduduk perkotaan masih menghadapi tingkat kompetisi kerja yang lebih tinggi.

TPT kelompok umur muda (15–24 tahun) tercatat paling tinggi, yakni 16,16 persen. Sementara itu, kelompok umur tua (60 tahun ke atas) mencatat TPT terendah, sebesar 1,67 persen.

Pola ini konsisten sejak Februari 2023, menandakan masalah struktural dalam penyerapan tenaga kerja muda. Kenaikan TPT pada kelompok umur tua sebesar 0,53 persen poin juga menunjukkan adanya dinamika baru di pasar kerja lansia.

Jika dilihat dari jenjang pendidikan, tamatan SMK mencatat TPT tertinggi pada Februari 2025, sebesar 8,00 persen. Hal ini menunjukkan bahwa lulusan SMK belum sepenuhnya terserap oleh sektor industri atau jasa.

Sebaliknya, TPT terendah dicapai oleh kelompok pendidikan SD ke bawah, yaitu 2,32 persen. Lulusan tingkat rendah ini cenderung masuk ke sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tinggi.

Dalam hal distribusi, pengangguran paling banyak berasal dari lulusan SMA yang menyumbang 28,01 persen dari total pengangguran. Data ini menunjukkan bahwa jenjang pendidikan menengah umum belum efektif meningkatkan daya saing tenaga kerja.

Pengangguran dari lulusan diploma dan perguruan tinggi justru berada di posisi lebih rendah, masing-masing 2,44 persen dan 13,89 persen. Kondisi ini dapat mencerminkan adanya kelebihan pasokan tenaga kerja menengah yang tidak seimbang dengan permintaan pasar.

Secara keseluruhan, meskipun TPT Indonesia menurun secara umum, struktur ketenagakerjaan Indonesia masih menyisakan tantangan ketimpangan. Isu-isu berdasarkan jenis kelamin, daerah, usia, dan pendidikan menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif.

Exit mobile version