Dualisme kepemimpinan memang menjadi mimpi buruk bagi setiap organisasi. Tak hanya soliditas internal yang terbelah, perebutan keabsahan sang pemimpin beserta gerbong loyalis atau saya menyebut kroni-kroninya itu banyak memengaruhi sepak terjang organisasi termasuk tingkat elektoral kader yang bergemuruh.
Itulah yang terjadi pada organisasi kaderisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Bangkalan yang terjerumus dalam egosentrisme haus akan kekuasaan, sehingga melahirkan dualisme yang membelit pada tubuh organisasi PMII Bangkalan dan menjadikan daftar catatan hitam perpecahan.
Berawal dari penyelenggaraan Konferensi Cabang (Konfercab) PMII Bangkalan pada bulan Desember 2022 lalu, sampai saat ini menuai polemik berkepanjangan, sehingga melahirkan klaim antar pihak sahabat Sofiulloh dan sahabat Syamsul Hadi yang masing-masing melegitimasi sebagai pimpinan organisasi PMII cabang Bangkalan.
Meskipun kisruh perebutan pucuk kepemimpinan organisasi itu telah menjadi bagian dinamika perpolitikan dan demokrasi sejak lama. Namun sebagai organisasi kaderisasi melihat konflik internal yang tak kunjung usai adalah beban moral bagi kebesaran organisasi PMII itu sendiri.
Kisruh internal PMII Bangkalan yang berujung pada dualisme perebutan kekuasaan dan mencuat ke permukaan dan menjadi konsumsi publik secara luas dapat dipandang sebagai puncak dari timbunan berbagai konflik di dalam organisasi yang tak pernah selesai.
Konflik internal yang dialami organisasi kaderisasi begitu berpengaruh pada banyak hal yang menyangkut pengelolaan organisasi. Tentu, pada akhirnya ini berimbas pada penurunan kepercayaan kader terhadap apa yang mereka pelajari dalam berproses di PMII.
Dualiseme, klaim-mengeklaim sebagai pucuk pimpinan cabang PMII Bangkalan beserta kroni-kroninya membuat perpecahan ditubuh PMII Bangkalan dengan beberapa komisariat yang terpecah menjadi dua bagian, anggap saja satu golongan kuning dua golongan biru.
Sementara keutuhan ber-PMII hanya akan sempurna apabila dua warna ini berkibar di cabang bangkalan, bukan malah terpisah menjadi dua bagian yang menyababkan kehancuran proses kaderisasi PMII Bangkalan.
Mengutip dari Arnold Joseph Toynbee seorang sejarawan inggris dalam bukunya yang berjudul A Study of History (1934)” proses kehancuran dalam 28 peradaban besar dunia disebabkan perpecahan dan pembentukan kelompok-kelompok baru”. Perpecahan ini sudah sangat tampak dalam tubuh PMII Bangkalan dengan proses kaderisasi dua pintu, baik Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), dan Pelatihan Kader Dasar (PKD) yang dipimpin dengan ketua cabang yang berbeda.
Jika ini terus dibiarkan maka sahabat (sapaan akrab dalam PMII), justru tidak bersahabat dalam mewujudkan cita-cita luhur PMII yang tertuang pada Anggaran Dasar PMII BAB IV pasal 4″ Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”. Dimana perjuangan PMII Bangkalan adalah sebagai garda terdepan dalam mewujudkan bangkalan lebih baik lagi. Itu diperlukan kesamaan intruksi dari pimpinan yang sama.
Maka menurut hemat penulis, PMII Bangkalan harus segera menyelesaikan perwujudan dua pimpinan cabang ini, selain sudah tentu membingungkan kader juga berimbas terhadap esensi sahabat yang katanya lebih dari sekadar saudara, namun kenyataannya di PMII Bangkalan berjumpa sesama sahabat melihat irisan ketua.
Oleh karena itu, penulis beranggapan ada dua hal yang harus PMII Bangkalan lakukan, untuk mengembalikan keutuhan PMII Bangkalan pada warna kebanggaannya.
Pertama, Menfungsikan ketua Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Bangkalan serta bertabayyun dengan alumni yang kepentingannya campur-campur. Kedua, Merekonsiliasi dua sahabat yang melegitimasi dirinya sebagai pimpinan cabang.
PMII adalah organisasi kaderasasi yang memiliki senior-senior atau orang tua di tubuh PMII Bangkalan, yang tergabung dalam Ikatan Alumni PMII (IKA PMII) perlu didukkan dan bermusyawaroh bagaimana menatap PMII Bangkalan agar kaderisasi berlanjut sebagaimana mestinya. Seperti yang sering dilakukan oleh kalangan akhlussunnah wal jamaah yakni bertabayyun.
Meskipun hal itu sangat sulit dilakukan karena kepentingan IKA sudah beda-beda. Namun demi PMII Bangkalan yang sudah terlanjur memiliki dua kepengurusan cabang ini, IKA sebagai orang tua harus siap ambil bagian.
Penulis yakin betul bahwa keberadaan IKA PMII Bangkalan sangat dibutuhkan untuk merekonsiliasi kembali kader yang saling sikut menyikut.
Karena bagaimanapun dualisme kepengurusan di tubuh PMII Bangkalan menyisakan berbagai benih persoalan yang dapat mencuat kembali. Dengan begitu, proses rekonsiliasi yang ditempuh harus benar-benar dapat menjadi titik temu dari keterbelahan yang ada sehingga kader PMII Bangkalan dapat berproses secara maksimal tanpa rasa khawatir, dan membatasi diri terhadap lahan perkopian barisan kuning atau barisan biru.
Penulis selaku kader PMII Bangkalan, berharap PMII Bangkalan tetap berada disatu barisan yang terintegralkan kuning dan biru serta terintruksi satu pimpinan dalam menggaungkan salam pergerakan.
Selebihnya penulis hanya sebatas kader PMII Bangkalan yang masih awam secara ke PMII-an dengan senior-senior, namun penulis terasa sesak nafas dengan sendirinya seakan-akan golongan biru tidak boleh kuning, dan golongan kuning tidak boleh biru. Wallohu a’lam!!!