Surabaya – Fenomena ”Pengemis Online” di platform media sosial saat ini tengah marak terjadi. Perkembangan teknologi telah banyak mengubah masyarakat, salah satunya ialah migrasi cara masyarakat mengemis, Rabu (1/2/2023).
Kegiatan tersebut dilakukan oleh kreator konten dengan mengeksploitasi diri sendiri dan orang lain untuk mendapatkan “sumbangan” dari masyarakat yang menonton.
Menurut Psikolog Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Ike Herdiana M.Psi, pengemis online merupakan fenomena sosial, yang menyajikan tayangan menyentuh rasa kasihan pengguna media, sehingga mendorong perilaku memberi uang atau apapun sebagai bentuk donasi atau bantuan.
“Ide mandi lumpur, berendam di got, dan sebagainya ditujukan untuk menyentuh rasa iba orang yang melihat. Apalagi mereka juga menggunakan figur-figur yang secara sosial di dalam masyarakat kita tergolong kelompok rentan tidak berdaya,” ujarnya.
Ia pun melihat banyak masalah yang terjadi dalam fenomena tersebut, salah satunya eksploitasi masyarakat kelompok lemah.
Mereka mencoba memainkan psikologis masyarakat untuk menggerakkan hati pengguna media sosial dalam berdonasi.
Dengan luasnya cakupan, ketika pertolongan tidak dapat diberikan secara langsung, hal inilah yang dimanfaatkan untuk membuka saluran donasi via daring.
“Karena ada unsur eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan inilah yang kemudian menjadi larangan, yang dikeluarkan oleh pemerintah,” tambahnya.