Lao Tzu adalah sosok yang legendaris dan penuh misteri, menghiasi lorong-lorong sejarah dengan filosofi Taoisme yang memikat. Meski riwayat hidupnya terselubung dalam kabut keraguan, kehadirannya merasuk dalam lembaran-lembaran kuno dari catatan historis Tiongkok, khususnya dalam Shiji.
Dilahirkan dengan nama Lier di Provinsi Ku, yang kini dikenal sebagai Provinsi Henan, Cina, pada masa keemasan Dinasti Zhou, Lao Tzu (570-470 SM) memancarkan cahaya kearifan dari kedalaman wawasannya. Sebagai pemimpin perpustakaan Chuguo, Lao Tzu tidak hanya mengelola harta karun kata-kata, tetapi juga menembus batas-batas dunia dengan kebijaksanaannya yang luas.
Ketenaran Lao Tzu melintasi zaman, bahkan mencapai telinga Kong Hu Cu, seorang pencari kebijaksanaan. Dalam cerita yang diabadikan dalam catatan Zhuangzi, Kong Hu Cu menempuh perjalanan spiritual untuk bertemu dengan Lao Tzu, sang Guru Besar Taoisme, guna meraih pencerahan akan keadilan dan kesopanan.
Lukisan-lukisan kuno menggambarkan momen epik ini, menciptakan panorama spiritual yang mengangkat jiwa. Dari catatan tersebut, terungkap bahwa perbedaan usia antara Kong Hu Cu dan Lao Tzu sekitar dua dekade, menandakan kedalaman dan kedewasaan yang dimiliki oleh sang guru.
Namun, kebesaran Lao Tzu bukan semata dalam pertemuan-pertemuan manusiawi. Saat Dinasti Zhou merosot ke jurang kegelapan, Lao Tzu mengambil keputusan monumental untuk meninggalkan dunia yang telah dikenalnya. Di tengah-tengah debu perpisahan, Guan Yixi memohon padanya untuk meninggalkan jejak kebijaksanaan dalam bentuk tulisan.
Maka lahirlah dua karya agung: “Dao” dan “De”. Keduanya, sebuah simfoni kata-kata yang merangkai kebijaksanaan, diperkenalkan kepada dunia sebagai “Daode Jing”, sebuah manifestasi literer yang menyapa jiwa-jiwa yang haus akan arah dan kebaikan.
Namun, seperti sungai yang mengalir, kehidupan Lao Tzu juga dipenuhi dengan misteri dan legenda. Beberapa mengisahkan bahwa ia menghabiskan 62 tahun di dalam kandungan ibunya sebelum lahir ke dunia, menjadi bukti bahwa kebijaksanaan tidak mengenal batas waktu. Oleh karena itu, ia dijuluki Lao Tzu, yang dalam bahasa Tionghoa berarti Budak Tua, menandakan kedewasaan yang lahir sejak awal.
Legenda lain mengisahkan bahwa usianya mencapai 200 tahun, menjelajahi zaman dengan mata yang tercerahkan oleh kebijaksanaan. Namun, di balik tabir misteri ini, inti ajaran Lao Tzu tetap berkilau: kebijaksanaan yang abadi melampaui batas-batas kematian dan waktu.
Selain itu, debat seputar asal-usul namanya juga membingungkan sebagian kalangan. Apakah ia sebenarnya bermarga Lao atau Li? Pertanyaan ini menambah kemisteriusan sosok yang telah menjadi teladan bagi generasi demi generasi.
Dalam setiap mata air kebijaksanaan yang mengalir dari pena Lao Tzu, kita menemukan lebih dari sekadar kata-kata. Kita menemukan harmoni alam semesta yang memayungi segala sesuatu, dan kita merasakan kehadiran yang tak terlihat namun mengisi ruang-ruang kosong dalam hati kita.
Sungguh, Lao Tzu adalah cahaya di kegelapan, panduan di tengah kebingungan, dan sahabat dalam perjalanan roh. Dengan setiap kata yang ditulisnya, ia membimbing kita untuk melihat ke dalam diri sendiri dan menemukan kebijaksanaan yang terpendam di sana.
Sebagai langit yang luas dan samudra yang dalam, ajaran-ajaran Lao Tzu mengajak kita untuk mengarungi lautan kehidupan dengan ketenangan dan kebijaksanaan Tao. Dalam jejak langkahnya, kita menemukan arah, dan dalam keheningan yang diselimuti oleh kata-kata, kita menemukan kedamaian yang abadi.