Site icon Madurapers

Mengenal Kalender Jawa: Perpaduan Unik Budaya dan Perhitungan Waktu

Kalender Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh masyarakat Jawa sejak zaman kesultanan Mataram

Kalender Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh masyarakat Jawa sejak zaman kesultanan Mataram (Sumber Foto: Istimewa).

Bangkalan – Kalender Jawa adalah sistem penanggalan khas yang digunakan oleh masyarakat Jawa sejak zaman Kesultanan Mataram. Menurut sejarawan Ahmad Mansur (2020), kalender ini merupakan hasil akulturasi dari kalender Islam, Hindu, dan Julian.

Sistem penanggalan ini diperkenalkan oleh Sultan Agung pada tahun 1633 M sebagai bagian dari reformasi budaya di Kesultanan Mataram. Dalam catatan Rasjidi (2018), Sultan Agung menggabungkan unsur Kalender Saka dari India dengan Kalender Hijriyah Islam.

Kalender Jawa memiliki siklus yang unik karena mengombinasikan dua sistem, yaitu peredaran matahari dan bulan. Menurut kajian dari Purnomo (2021), siklus tahunan mengacu pada perhitungan kalender Saka, sementara siklus bulanan mengikuti kalender Hijriyah.

Dalam satu tahun, Kalender Jawa terdiri dari 12 bulan yang namanya mirip dengan kalender Hijriyah, seperti Sura, Sapar, dan Mulud. Seperti dijelaskan oleh Handoko (2019), perhitungan hari dalam setiap bulan bergantung pada fase bulan, mirip dengan kalender Islam.

Salah satu ciri khas Kalender Jawa adalah adanya siklus pasaran yang terdiri dari lima hari, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Berdasarkan penelitian Widodo (2020), sistem pasaran ini berasal dari kepercayaan Jawa kuno dan digunakan untuk menentukan hari baik dalam berbagai kegiatan.

Selain itu, Kalender Jawa juga mengenal siklus windu yang berlangsung selama delapan tahun. Menurut kajian Susanto (2017), siklus ini digunakan untuk memperhitungkan peristiwa penting, seperti penobatan raja dan peringatan adat.

Penanggalan dalam Kalender Jawa sering digunakan untuk menentukan waktu upacara adat, seperti sekaten, ruwatan, dan pernikahan. Seperti disebutkan oleh Priyanto (2021), masyarakat Jawa percaya bahwa pemilihan hari baik dapat membawa keberuntungan dan keselamatan.

Di beberapa daerah, Kalender Jawa juga dipakai sebagai pedoman dalam bercocok tanam. Menurut hasil penelitian Suryanto (2019), petani Jawa sering mengikuti sistem pranata mangsa, yang membagi tahun menjadi 12 musim pertanian berdasarkan kondisi alam.

Kalender Jawa juga memiliki pengaruh dalam kehidupan spiritual masyarakat. Dalam buku karya Setyawan (2020), disebutkan bahwa hari-hari tertentu dalam kalender ini dianggap sakral, seperti malam 1 Sura yang sering digunakan untuk ritual kebersihan batin.

Meskipun saat ini kalender Masehi lebih umum digunakan, kalender tersebut masih tetap lestari di kalangan masyarakat tradisional. Menurut observasi Rahmadani (2022), banyak orang tua di Jawa yang masih menggunakan kalender ini untuk menentukan tanggal kelahiran dan perhitungan weton.

Di era digital, Kalender Jawa kini tersedia dalam bentuk aplikasi dan website yang memudahkan akses bagi generasi muda. Dalam laporan media daring Tempo (2023), penggunaan kalender digital membantu melestarikan budaya Jawa di tengah modernisasi.

Dengan kekayaan sistem perhitungannya, kalender ini menjadi salah satu warisan budaya yang memiliki nilai historis dan filosofis tinggi. Sebagaimana dinyatakan oleh budayawan Ki Hadiwijaya (2021), keberadaan kalender ini mencerminkan kearifan lokal yang harus terus dijaga oleh generasi mendatang.

Exit mobile version