Site icon Madurapers

Mengupas Tuntas Istilah Politik Dinasti: Dibalik Kekuasaan yang Berkembang Secara Turun Temurun

Mohammad Fauzi adalah pemerhati dan peneliti sosial-politik dari lembaga kajian Tri Dharma Cendekia dan Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD)

Mohammad Fauzi adalah pemerhati dan peneliti sosial-politik dari lembaga kajian Tri Dharma Cendekia dan Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) (Dok. Madurapers, 2024).

Ramai pembicaraan di publik tentang pencalonan Gibran Rakabuming Raka (Gibran), putra sulung (tertua) Presiden Joko Widodo, sebagai Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2 (Dua) dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024. Proses pencalonan Gibran ini menurut pendapat sebagian besar akademisi sosial-politik sebagai bentuk praktik politik dinasti. Praktik ini kemudian menjadi sebuah istilah yang kian merayap ke permukaan dalam pembicaraan politik di belahan bumi nusantara.

Fenomena politik dinasti ini sebenarnya secara ilmiah merujuk pada praktik di mana kekuasaan politik dan kendali atas lembaga-lembaga pemerintahan berpindah dari satu anggota keluarga ke anggota keluarga berikutnya secara turun temurun. Sebagai bentuk penguatan kekuasaan dalam suatu kelompok keluarga, politik dinasti mendapat sorotan kritis karena potensi risiko terhadap demokrasi dan keadilan politik.

Terlepas dari dukung-mendukung dan kepentingan kontestasi politik dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, lalu pertanyaannya, apa itu politik dinasti, bagaimana hal ini berkembang, dan dampaknya terhadap sistem politik?

Definisi, Asal Usul dan Ciri Politik Dinasti

Politik dinasti berasal dari kata “dinasti,” yang merujuk pada suksesi kepemimpinan atau kekuasaan dalam satu keluarga atau keturunan. Secara politik, istilah ini mengacu pada dominasi atau pengaruh politik yang dipegang oleh satu keluarga atau beberapa keluarga yang saling terkait secara keturunan. Dalam politik dinasti, pemimpin atau pejabat publik sering kali diwariskan dari generasi ke generasi, menciptakan suksesi kekuasaan yang panjang dan kontinu.

Sebuah dinasti politik dapat muncul dalam berbagai bentuk pemerintahan, termasuk monarki, republik, atau bentuk pemerintahan lainnya. Di beberapa negara, politik dinasti mungkin muncul dalam bentuk monarki absolut di mana kepala negara adalah anggota keluarga tertentu, sementara di negara-negara demokratis, politik dinasti dapat termanifestasi dalam kontrol keluarga terhadap partai politik atau lembaga-lembaga pemerintahan kunci.

Politik dinasti bukanlah fenomena baru dalam politik. Praktik ini dapat ditelusuri kembali ke berbagai periode dalam sejarah manusia. Beberapa negara memiliki tradisi panjang politik dinasti, di mana keluarga tertentu secara tradisional menguasai pemerintahan. Mesir kuno, Tiongkok, dan Romawi adalah contoh klasik dari politik dinasti dalam berbagai bentuk.

Dalam sejarah modern, kita melihat contoh-contoh politik dinasti di berbagai belahan dunia. Negara-negara seperti India, Pakistan, Filipina, dan beberapa negara Afrika telah menghadapi fenomena ini dengan beberapa keluarga yang mendominasi panggung politik selama beberapa dekade. Dalam banyak kasus, politik dinasti terkait dengan kekayaan dan kekuasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Politik dinasti memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari sistem politik lainnya. Salah satu ciri yang paling mencolok adalah adanya transfer kekuasaan atau jabatan politik secara turun temurun antar-anggota keluarga. Kepemimpinan yang dipegang oleh satu keluarga dapat mencakup jabatan eksekutif, legislatif, atau bahkan jabatan tinggi dalam partai politik.

Selain itu, politik dinasti sering kali menciptakan struktur kekuasaan yang sangat terkonsentrasi di tangan keluarga tertentu. Kekuasaan ekonomi dan politik yang dipegang oleh keluarga ini dapat mengakibatkan ketergantungan besar terhadap kebijakan dan keputusan yang dibuat oleh keluarga tersebut.

Dampak dan Tantangan Menghadapi Politik Dinasti

Meskipun politik dinasti mungkin memberikan stabilitas politik dan kontinuitas kebijakan, fenomena ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif. Salah satu dampak yang paling umum adalah potensi terjadinya korupsi dan nepotisme. Anggota keluarga yang menduduki posisi politik atau pemerintahan dapat memanfaatkan posisi tersebut untuk keuntungan pribadi atau keluarga mereka, mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas.

Politik dinasti juga dapat merugikan proses demokrasi. Dengan kekuatan terpusat dalam keluarga tertentu, pesaing politik yang tidak berasal dari keluarga tersebut mungkin menghadapi kesulitan untuk bersaing secara adil dalam pemilihan dan mendapatkan dukungan publik.

Mengatasi tantangan politik dinasti tidaklah mudah. Beberapa negara telah mencoba mengimplementasikan reformasi politik untuk mengurangi pengaruh keluarga dalam politik. Ini mungkin melibatkan pembatasan terhadap masa jabatan, pemberlakuan hukum anti-nepotisme, atau peningkatan transparansi dalam pemilihan.

Namun, reformasi semacam itu sering kali menghadapi resistensi dari keluarga politik yang berkuasa dan pendukung mereka. Selain itu, penegakan hukum dan implementasi reformasi dapat menjadi tantangan tersendiri dalam situasi di mana kekuasaan politik sangat terkonsentrasi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan politik dinasti adalah fenomena kompleks yang memiliki dampak yang signifikan pada sistem politik suatu negara. Meskipun dalam beberapa kasus politik dinasti dapat memberikan stabilitas, kebijakan yang berkelanjutan, dan identitas nasional yang kuat, dampak negatifnya terhadap demokrasi dan keadilan tidak boleh diabaikan.

Upaya untuk mengatasi politik dinasti memerlukan kerjasama dan dukungan dari masyarakat sipil, media, lembaga-lembaga di Indonesia, bahkan lembaga-lembaga internasional. Hanya dengan langkah-langkah yang tegas dan reformasi politik yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa kekuasaan politik di Indonesia tetap berada di tangan mereka yang dipilih oleh rakyat untuk mewakili kepentingan bersama dan memajukan kesejahteraan masyarakat.

 

Mohammad Fauzi adalah pemerhati dan peneliti di lembaga kajian Tri Dharma Cendekia dan Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD).

Exit mobile version