Site icon Madurapers

Menjaga Bahasa Madura, Merawat Identitas Budaya

Ilustrasi bahasa Madura sebagai identitas bagi etnis Madura. Etnis ini mayoritas tinggal di Pulau Madura, sebagian lagi berada di luar Pulau Madura

Ilustrasi bahasa Madura sebagai identitas bagi etnis Madura. Etnis ini mayoritas tinggal di Pulau Madura, sebagian lagi berada di luar Pulau Madura (Sumber Foto: Prokopim Pamekasan, 2019).

Bangkalan – Bahasa Madura bukan sekadar alat ucap, melainkan cerminan jiwa dan denyut nadi kehidupan masyarakatnya. Dalam pandangan Clyde Kluckhohn, bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga jalinan makna yang membentuk jati diri sebuah peradaban.

Sebagai warisan luhur, bahasa Madura berdiri sebagai pilar yang menopang ingatan kolektif dan kebanggaan sebuah bangsa. Lebih dari sekadar rangkaian kata, bahasa ini mengandung falsafah dan kebijaksanaan nenek moyang, menjadikannya cahaya yang harus tetap menyala di setiap generasi.

Kesadaran akan nilai luhur bahasa Madura akhirnya memperoleh legitimasi, saat Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia mengukuhkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Pada tahun 2024, pengakuan resmi itu menjadi saksi bahwa bahasa Madura bukan sekadar tuturan, melainkan pusaka yang harus dijaga dan diwariskan.

Keunikan bahasa Madura terletak pada kelimpahan kosakata dan ungkapannya, yang tidak hanya menjadi simbol identitas, tetapi juga benteng yang menjaga keotentikan budaya. Dalam arus globalisasi yang menggempur batas-batas lokal, bahasa Madura adalah perlawanan halus terhadap homogenisasi budaya yang mengancam keberagaman.

Kelestarian bahasa ini dapat dirawat melalui pendidikan, mengintegrasikannya dalam kurikulum sekolah sebagai bagian dari kebijakan kebudayaan yang berkelanjutan. Tak hanya itu, kehadirannya dalam media, baik cetak maupun digital, serta dalam percakapan sehari-hari menjadi napas yang menghidupkannya di tengah zaman yang terus berubah.

Namun, usaha ini menghadapi tantangan besar, terutama secara formal (sarjana) minimnya tenaga pendidik yang memiliki kompetensi dalam bidang Sastra atau Pendidikan Bahasa Madura. Lebih mencengangkan, tak satu pun perguruan tinggi di Madura, baik negeri maupun swasta, yang membuka program studi bahasa Madura, sehingga para pengajarnya di sekolah-sekolah justru berasal dari disiplin ilmu lain.

Jika keadaan ini terus berlanjut, generasi muda Madura akan semakin jauh dari bahasanya sendiri, kehilangan sarana untuk memahami dan menuturkan warisan budayanya. Dalam skenario paling suram, lenyapnya penutur akan menggiring bahasa ini ke tepi kepunahan, menghapus jejak sejarah yang seharusnya tetap lestari di cakrawala zaman.

Exit mobile version