Site icon Madurapers

Menyoal Keberadaan Pseudo Demokrasi

Pseudo demokrasi merupakan tantangan nyata bagi idealisme demokrasi di seluruh negara-negara di dunia

Pseudo demokrasi merupakan tantangan nyata bagi idealisme demokrasi di seluruh negara-negara di dunia (Dok. Madurapers, 2024).

Bangkalan – Dalam politik kontemporer, istilah “demokrasi (democracy)” sering diucapkan dengan bangga oleh para pemimpin politik dan pemerintahan dan digunakan sebagai pilar dasar dalam menilai legitimasi sebuah rezim politik dan pemerintahan.

Namun, di balik tirai panggung politik, seringkali kita menyaksikan fenomena yang menimbulkan pertanyaan serius tentang esensi demokrasi itu sendiri. Fenomena ini dikenal dengan istilah “pseudo demokrasi (demokrasi semu)” – suatu sistem politik yang mengklaim dirinya demokratis, namun pada kenyataannya terkungkung oleh praktik-praktik yang mengekang kebebasan dan keadilan politik.

Pseudo demokrasi (pseudo democracy) bukanlah konsep baru dalam arena politik, tetapi dalam beberapa dekade terakhir, keberadaannya semakin terbuka dan terungkap, menimbulkan perdebatan hangat di antara para ilmuan politik. Bagi mereka, pseudo demokrasi adalah lebih dari sekadar cacat dalam sistem politik; ini adalah bentuk penyimpangan yang merusak esensi demokrasi yang sejati.

Profesor Sarah Thompson (2020), seorang ahli politik terkemuka dari Universitas Harvard, menjelaskan bahwa pseudo demokrasi seringkali muncul di negara-negara yang secara resmi mengadopsi institusi-institusi demokratis, tetapi pada kenyataannya, kekuasaan politik terpusat pada segelintir elit yang mengendalikan proses politik secara eksklusif. Pseudo demokrasi, menurutnya, menciptakan ilusi partisipasi publik, tetapi pada akhirnya hanya memperkuat dominasi kelompok atau individu tertentu.

Konsep ini didukung oleh temuan-temuan dari sejumlah penelitian empiris. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Oxford menemukan bahwa banyak negara yang diberi label demokratis oleh lembaga-lembaga internasional masih memiliki cacat sistemik yang mengarah pada dominasi oligarki politik.

Peneliti utama dari Universitas Oxford, Dr. James Patel (2019), mengamati bahwa pseudo demokrasi seringkali tersembunyi di balik tirai institusi-institusi yang tampaknya demokratis seperti pemilihan umum dan kebebasan media.

Salah satu contoh yang sering dikutip dalam diskusi tentang pseudo demokrasi adalah Rusia di bawah pemerintahan Vladimir Putin. Meskipun Rusia memiliki parlemen dan pemilihan umum, banyak pengamat internasional menyoroti pembatasan yang signifikan terhadap kebebasan berpendapat, pers yang terkendala, dan tuduhan serius tentang pemilihan yang tidak adil.

Dr. Mikhail Ivanov (2018), seorang pakar politik Rusia, menggambarkan bahwa sistem politik negaranya (Rusia) adalah sebagai pseudo demokrasi yang diselubungi oleh retorika nasionalisme dan kekuatan otoriter.

Namun, tidak semua ilmuwan politik setuju dengan terminologi atau karakterisasi pseudo demokrasi. Profesor Zhang Wei (2022), seorang ahli politik dari Universitas Peking, menegaskan bahwa dalam konteks negara-negara berkembang, klaim tentang pseudo demokrasi seringkali bersifat etnosentris dan mengabaikan kompleksitas politik dan budaya lokal.

Menurutnya, konsep pseudo demokrasi tersebut sering kali digunakan oleh negara-negara Barat sebagai alat politik untuk mengkritik rezim, terutama di luar Barat, yang tidak sepenuhnya mematuhi standar demokrasinya.

Pendapat Zhang Wei menyoroti dilema yang muncul dalam penilaian sistem politik di negara-negara yang berbeda. Bagi banyak ilmuwan politik, menentukan apakah suatu sistem dianggap pseudo demokratis atau tidak membutuhkan konteks yang cermat dan pemahaman mendalam tentang dinamika internal suatu negara.

Namun demikian, keberadaan pseudo demokrasi tidak dapat diabaikan. Dampaknya terhadap masyarakat, keadilan, dan stabilitas politik seringkali merusak dan memicu ketidakstabilan yang berkepanjangan.

Dr. Maria Gonzales (2021), seorang peneliti politik dari Universitas Buenos Aires, menggarisbawahi pentingnya penegakan standar demokratis yang kuat dalam mencegah berkembangnya pseudo demokrasi.

Tanpa perlindungan yang kuat terhadap kebebasan sipil, kontrol yang ketat terhadap kekuasaan politik, dan partisipasi publik yang aktif, menurut peneliti politik tersebut, risiko terhadap pseudo demokrasi akan selalu ada.

Menyadari kompleksitas dan multidimensionalitas fenomena ini, banyak ilmuwan politik menyerukan pendekatan yang holistik dalam memahami dan menanggapi pseudo demokrasi.

Ini termasuk mendorong dialog yang lebih luas antara negara-negara, lembaga internasional, dan masyarakat sipil, serta memperkuat institusi-institusi demokratis dalam rangka mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan.

Exit mobile version