Opini  

Oligarki Manusia dan Semut, Apa Bedanya?

Mohammad Fauzi, Dewan Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD)

Oligarki (oligarchy) (Michels, 1984) sejak era kekuasaan komunitas suku hingga negara modern selalu menjadi biang kerok munculnya ketimpangan sosial-ekonomi dan politik. Oligarki ini dijelaskan oleh Aristoteles sebagai sistem pemerintahan dimana manusia (baik sedikit maupun banyak) berkuasa berdasarkan kekayaan (Dowding, 2011).

Perilaku oligark (aktor oligarki) dalam mempertahankan kekayaan (wealth defense), yakni pertahanan harta dan pendapatan (property and income defense)—baik langsung maupun melalui kerjasama ilegal dengan penguasa politik—melahirkan ancaman terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Dominasi atas sumberdaya material dan kekuasaan oligark (oligarch) menciptakan ketidakadilan distribusi kekayaan dan kekuasan politik. Kesenjangan sosial-ekonomi dan politik kemudian muncul di masyarakat dan memuncak pada peningkatan kemiskinan struktural dan peminggiran masyarakat pada proses politik dan pemerintahan.

Kemampuan oligark mempertahankan sistem oligarki tampak seperti wabah penyakit yang sulit dibasmi oleh sistem politik, pun sistem demokrasi modern. Bahkan, kehadiran oligark di arena politik dan pemerintahan, dalam banyak kasus, melahirkan demokrasi kriminal.

Politik pertahanan harta dan pendapatan oligark dalam sistem demokrasi modern (demokrasi elektoral) terbukti ampuh mempertahankan kelangsungan sistem oligarki. Biaya politik dan perilaku rent-seeking (mencari keuntungan/rente) aktor politik membuka peluang masuknya uang oligark ke arena politik dan pemerintahan.

Uang ini dalam terminologi politik dikenal dengan politik uang (money politic) dan suap/sogok (bribe). Uang oligark ini pada gilirannya mampu mempengaruhi pemilihan pemimpin politik dan pembuatan kebijakan pemerintah.

Meski dalam bentuk yang sederhana, fenomena oligarki juga ada dalam koloni atau masyarakat semut. Oligarki di koloni semut yang mirip dengan kehidupan politik/pemerintahan manusia adalah oligarki sultanistik (sultanistic oligarchy) dan oligarki panglima (warring oligarchy) (Winters, 2011).

Oligarki sultanistik sarana pemaksaan berada di tangan satu oligark sebagai patron dan rakyat sebagai klien (Chehabi dan Linz, 1998). Oligarki panglima sarana pemaksaan berada di tangan para panglima yang memiliki kemampuan mengendalikan alat kekerasan, produksi, dan distribusi kekayaan dan kekuasaan (Earle, 1997).

Namun yang membedakan dengan kedua oligarki manusia tersebut, oligarki di koloni semut bersifat semu (pseudo). Yakni, oligarki yang dibangun dengan sistem kasta yang ketat (Yahya, 2003) dan perbudakan (National Geographic, 2009). Dalam sistem kedua oligarki tersebut, kasta semut ratu secara simbolik sebagai oligark-nya, yakni sebagai simbol dan penguasa koloni tapi tidak memiliki hak dan klaim kepemilikan atas kekayaan koloni.

Kekayaan koloni dimiliki dan dinikmati bersama sehingga kesenjangan sosial-ekonomi (miskin-kaya) dan politik (penguasa-massa) tidak ada di koloni semut. Bahkan, sang ratu dan telurnya posisinya dijadikan objek bukan subjek di koloni, yakni menjadi harta karun koloni semut yang dilindungi oleh semua semut. Posisinya yang demikian sehingga semut ratu ketergantungan pada semut lain. Hal ini karena semut ratu diberikan makanan oleh semut pekerja dan dibuahi oleh semut jantan (Yahya, 2003).

Respon (2)

  1. Menarik sekali opini ini. Bedanya ternyata kl koloni semut si ratu sbg oligark tdk rakus (kekayaan milik bersama dan tdk ada disparitas kaya-miskin), tp sebaliknya jika oligarkhi kekuasaan pada manusia, justru oligark (elit) nya justru rajin numpuk kekayaan, menindas yg bawah dan menciptakan disparitas sosial. Alhasil, oligarkhi semut lebih baik (kl tdk lebih mulya) drpd oligarkhi manusia.