Surabaya – Kalangan akademik terkemuka di Surabaya, UNAIR, menyotori kekhawatiran terhadap eksploitasi nikel di wilayah konservasi Raja Ampat. Mengutip UNAIR NEWS, Kawasan yang dikenal sebagai surga bawah laut dunia itu kini menghadapi risiko kerusakan ekologis akibat aktivitas pertambangan yang terus meluas.
Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, Ph.D., pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga (UNAIR), menegaskan bahwa Raja Ampat memiliki peran strategis dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik dan baja. Ia menyebut bahwa tambang nikel di sana menyumbang pendapatan hingga Rp2 triliun per tahun dan menciptakan sekitar 5.000 lapangan kerja.
Meski memberikan dampak ekonomi yang signifikan, eksploitasi ini membawa risiko jangka panjang terhadap lingkungan laut yang rapuh. “Aktivitas pertambangan memang mendorong ekonomi lokal, tetapi jika dilakukan tanpa pengelolaan lingkungan yang baik, dampaknya akan serius,” ujarnya.
Pencemaran dari aktivitas pertambangan mengancam populasi ikan pelagis dan berbagai biota laut lain yang menjadi tumpuan hidup masyarakat pesisir. Ekosistem yang rusak akan menurunkan potensi pariwisata sekaligus menekan sektor perikanan tradisional.
Kerugian ekologis yang berkelanjutan bukan hanya berdampak lokal, tapi juga memengaruhi persepsi global terhadap Indonesia. Dalam dunia investasi internasional, reputasi sebagai negara yang peduli lingkungan kini menjadi faktor penentu kerja sama strategis.
“Kontroversi lingkungan bisa membuat investor ragu dan merusak reputasi Indonesia sebagai negara yang ramah lingkungan,” jelas Prof Rossanto. Ia juga menyoroti kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pengelolaan izin tambang sebagai titik lemah utama.
Menurutnya, pembangunan berbasis sumber daya alam harus disertai keseimbangan antara eksploitasi dan keberlanjutan. Hilirisasi bisa menjadi solusi jika disertai tata kelola lingkungan yang ketat dan konsisten.
Ia menegaskan bahwa strategi pembangunan yang abai terhadap lingkungan akan berdampak buruk bagi masa depan ekonomi dan sosial daerah. “Kalau lingkungan rusak, wisatawan hilang, nelayan kehilangan mata pencaharian, dan generasi mendatang hanya mewarisi kerugian,” tuturnya.
Polemik tambang nikel di Raja Ampat mencerminkan tantangan besar dalam merancang kebijakan ekonomi hijau yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah dihadapkan pada pilihan strategis antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan kelestarian lingkungan jangka panjang.