Site icon Madurapers

Paradoks Dangdut Syariah: Antara Religiusitas dan Kapitalisme

Moh. Ridlwan, Ketua Bidang Kebudayaan dan Kesenian, DPW. Madas Nusantara DKI Jakarta

DANGDUT, lebih dari sekadar musik, adalah cermin masyarakat Indonesia. Ia menangkap kompleksitas budaya, agama, dan dinamika sosial yang terus berubah. Dari pasar malam hingga panggung nasional, dangdut telah menjadi simbol hiburan rakyat yang hidup dalam persimpangan tradisi dan modernitas. Namun, daya tariknya tidak hanya terletak pada melodinya, tetapi juga pada kontradiksi-kontradiksi yang ia hadirkan, terutama dalam fenomena dangdut syariah (qasidah).

Fenomena dangdut syariah atau qasidah telah lama menarik perhatian. Dengan penyanyi berhijab dan lirik bernuansa religius, ia berupaya menawarkan alternatif yang lebih moral dibanding dangdut konvensional.

Namun, esensi dangdut sebagai hiburan rakyat tetap terlihat di panggung dangdut syariah—meriah, penuh euforia, dan tak jarang disertai joget bebas yang sensual dari biduan dan penontonnya. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah dangdut syariah benar-benar berbeda, atau hanya tampil dalam kemasan baru tanpa mengubah inti hiburannya?

Kehadiran dangdut syariah tidak lepas dari kritik terhadap dangdut konvensional yang sering dianggap vulgar. Dengan mengusung busana tertutup dan tema religius, dangdut syariah mencoba membangun citra yang lebih santun. Namun, realitas di panggung menunjukkan ironi yang tak terelakkan. Meskipun berpakaian tertutup, lekuk tubuh terlihat jelas seperti wanita soleHOT umumnya.

Pesona visual masih menjadi elemen utama, dan gerakan penyanyi tetap menyiratkan sensualitas apalagi tidak ada batasan antara perempuan dan laki-laki di atas panggung. Busana tertutup memang mengurangi kritik eksploitasi, tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan objektifikasi dalam hiburan ini.

Masalah lain yang muncul adalah bagaimana kapitalisme budaya bekerja dalam kemasan religius. Dangdut syariah menjadi representasi bagaimana agama sering kali dijadikan strategi pemasaran. Simbol religius digunakan untuk menjangkau segmen konservatif, tetapi elemen khas dangdut seperti tarian energik tetap dipertahankan untuk menjaga popularitas.

Dalam konteks ini, dangdut syariah berada dalam dilema: mencoba membawa nilai moral, tetapi tetap terjebak dalam lingkaran kapitalisme yang mengedepankan komodifikasi terutama pada aspek sensual.

Reaksi publik terhadap dangdut syariah pun terpecah. Bagi sebagian konservatif, ini adalah langkah maju yang mendekatkan seni dengan nilai agama. Namun, bagi yang skeptis, dangdut syariah hanyalah upaya pragmatis tanpa substansi yang kuat.

Perbedaan pandangan ini mencerminkan keragaman masyarakat Indonesia dalam memaknai seni dan agama, sekaligus memperlihatkan ketegangan antara modernitas dan tradisi.

Autentisitas dangdut syariah juga menjadi perdebatan. Apakah ia lahir dari niat murni untuk syi’ar agama (dakwah) atau sekadar strategi komersial untuk memanfaatkan pasar?

Jika hanya fokus pada tampilan tanpa memperkuat substansi, dangdut syariah berisiko kehilangan identitas dan menjadi sekadar produk lama dengan kemasan baru. Tantangan utamanya adalah bagaimana dakwah melalui seni musik benar-benar untuk kepentingan dakwah yang memadukan hiburan dan agama tanpa mengorbankan salah satunya.

Dangdut syariah juga memunculkan perdebatan tentang peran seni dalam membentuk identitas dan nilai masyarakat. Seni populer seperti dangdut selalu menjadi arena negosiasi antara kebutuhan pasar dan tuntutan moral. Dalam konteks ini, dangdut syariah menjadi cerminan bagaimana seni terus berkembang untuk menjawab perubahan sosial, tetapi pada saat yang sama menghadapi risiko kehilangan akar budayanya.

Meski penuh kontradiksi, dangdut syariah memiliki potensi untuk memperluas jangkauan dangdut sebagai hiburan yang inklusif. Ia menawarkan alternatif bagi mereka yang merasa risih dengan dangdut konvensional, meskipun inklusivitas ini tidak serta-merta menghapus kritik terhadap substansinya.

Sebagai bentuk hiburan, dangdut syariah menunjukkan dinamika masyarakat Indonesia yang kompleks, di mana agama, budaya populer, dan kapitalisme saling bertabrakan.

Pada akhirnya, dangdut syariah adalah potret masyarakat yang dinamis dan penuh ironi. Seni ini tidak hanya menjadi medium ekspresi budaya, tetapi juga ruang untuk merefleksikan perjalanan bangsa dalam mencari keseimbangan antara hiburan, moralitas, dan modernitas. Dalam segala bentuknya, dangdut tetap menjadi cermin kehidupan Indonesia—penuh warna sesuai kebutuhan pasar tanpa melihat jenis kelamin.

***Moh. Ridlwan, Ketua Bidang Kebudayaan dan Kesenian, DPW. Madas Nusantara DKI Jakarta

Exit mobile version