Site icon Madurapers

Partai Coklat dan Bayangan Gelap bagi Demokrasi

Moh. Ridlwan, Koordinator Bidang Riset dan Pengabdian Masyarakat DPP IMASS.

Moh. Ridlwan, Koordinator Bidang Riset dan Pengabdian Masyarakat DPP IMASS.

DALAM sejarah politik Indonesia, peran institusi keamanan selalu menjadi salah satu elemen penting yang membentuk lanskap kekuasaan. Namun, ketika institusi tersebut, terutama kepolisian, mulai bergerak secara politis dan memiliki afiliasi kuat dengan penguasa, muncul ancaman serius bagi demokrasi.

Fenomena ini sering disebut sebagai “partai coklat (Parcok),” sebuah metafora yang mengacu pada warna seragam kepolisian dan menggambarkan potensi penguasaan negara oleh aparat keamanan yang seharusnya netral. Istilah partai cokelat pertama kali dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dalam sebuah Podcast di Undercover pada 22 November 2024.

Jika Parcok berkonotasi pada lembaga kepolisian, maka akan memunculkan persoalan kompleks yang melibatkan aspek hukum, politik, dan sosial, serta dampaknya terhadap hak asasi manusia dan masa depan demokrasi di Indonesia.

Ketika kepolisian bergerak sebagai alat politik, terjadi pergeseran fungsi dari pelindung masyarakat menjadi instrumen kekuasaan. Kepolisian yang seharusnya independen, justru berada di bawah kendali pemerintah atau kelompok tertentu. Hal ini menciptakan konflik kepentingan yang mendalam.

Ketika kepolisian digunakan untuk mengintimidasi lawan politik, membungkam aktivis, atau mengontrol narasi publik melalui ancaman dan tindakan represif, kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini akan runtuh. Ketidaknetralan polisi juga memunculkan risiko besar berupa konsolidasi kekuasaan yang otoriter, di mana perbedaan pendapat tidak lagi mendapat tempat dalam ruang publik.

Salah satu persoalan inti dari fenomena ini adalah absennya sistem checks and balances yang efektif. Demokrasi membutuhkan pembagian kekuasaan yang jelas antara legislatif, eksekutif, yudikatif, dan institusi penegak hukum. Namun, ketika kepolisian menjadi alat politik, batas-batas ini kabur.

Polisi yang seharusnya menegakkan hukum secara adil justru terlibat dalam permainan kekuasaan yang memperburuk polarisasi politik. Aparat yang seharusnya melayani rakyat akhirnya lebih sibuk menjaga stabilitas kekuasaan penguasa, meski dengan mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan sipil.

Implikasi sosial dari fenomena ini juga tidak dapat diabaikan. Masyarakat yang merasa tertekan oleh aparat keamanan cenderung kehilangan rasa percaya terhadap negara. Ketika tindakan represif seperti penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, atau pengawasan ketat dilakukan atas nama stabilitas nasional, ruang kebebasan sipil semakin menyempit.

Dalam jangka panjang, masyarakat menjadi apatis terhadap proses politik, karena merasa suara mereka tidak lagi didengar. Siklus ini memperkuat otoritarianisme, di mana kebebasan individu dan hak asasi manusia menjadi korban.

Faktor lain yang memperburuk situasi adalah lemahnya mekanisme akuntabilitas dalam institusi kepolisian. Ketika aparat bertindak di luar kewenangan, seringkali tidak ada mekanisme yang efektif untuk mengawasi dan menghukum pelaku pelanggaran.

Hal ini menciptakan impunitas yang mengakar, di mana polisi merasa dapat bertindak tanpa konsekuensi. Dalam konteks ini, partai coklat menjadi entitas yang tidak hanya melayani penguasa, tetapi juga memperkuat budaya korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Persoalan semakin kompleks ketika melihat bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat kontrol kepolisian. Di era digital, pengawasan masyarakat dapat dilakukan melalui pemantauan media sosial, pelacakan data pribadi, dan manipulasi informasi.

Teknologi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan, justru digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan mengendalikan narasi publik. Ketika polisi menjadi aktor dominan dalam pengelolaan informasi, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang independen dan terpercaya.

Namun, ancaman ini tidak muncul begitu saja. Ada faktor struktural yang memungkinkan kepolisian menjadi begitu kuat secara politik. Salah satunya adalah sistem hukum yang lemah, di mana reformasi kepolisian tidak berjalan efektif pasca-Orde Baru.

Ketergantungan pemerintah pada aparat keamanan untuk menjaga stabilitas juga memperburuk situasi, karena menciptakan hubungan simbiosis antara penguasa dan kepolisian. Dalam banyak kasus, penguasa memberikan keleluasaan kepada aparat untuk bertindak tanpa pengawasan, selama tindakan tersebut menguntungkan rezim yang sedang berkuasa.

Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan reformasi institusional, penguatan masyarakat sipil, dan desentralisasi kekuasaan.

Reformasi kepolisian harus menjadi prioritas, dengan memastikan bahwa institusi ini tidak hanya profesional, tetapi juga bertanggung jawab secara hukum dan moral kepada masyarakat. Selain itu, peran masyarakat sipil sangat penting dalam mengawasi tindakan kepolisian dan memastikan bahwa hak-hak individu dilindungi.

Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari warganya untuk menolak segala bentuk represi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Fenomena partai coklat menggambarkan risiko besar bagi demokrasi Indonesia. Ketika kepolisian menjadi alat kekuasaan, batas antara negara hukum dan negara represif semakin tipis. Demokrasi hanya dapat bertahan jika institusi penegak hukum berfungsi sebagai pelindung rakyat, bukan sebagai pelayan penguasa.

Dengan memahami persoalan ini secara mendalam, diharapkan masyarakat dan pemimpin politik dapat bersama-sama membangun sistem yang lebih adil dan demokratis. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih baik, di mana hak asasi manusia dan kebebasan sipil benar-benar dihormati.

***Moh. Ridlwan, Koordinator Bidang Riset dan Pengabdian Masyarakat DPP. Ikatan Mahasiswa Sarjana Santri Syaichona Moh. Cholil (IMASS) serta Dirut. Gerakan Politik. Youtube: Gerakan Politik. IG, X, Tiktok: @gerakan.politik.

Exit mobile version