Surabaya – Konflik terbuka antara PDI Perjuangan dan Joko Widodo (Jokowi, mantan Presiden RI) menjadi sorotan publik, terutama setelah berbagai pernyataan dan pengungkapan kontroversial yang menyeret kedua pihak ke dalam pusaran saling tuding dan bongkar aib.
Pernyataan Henry Subiakto, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), melalui akun X (sebelumnya Twitter), menarik perhatian luas, Jumat (27/12/2024).
Dalam tulisannya yang bertajuk “PDIP Versus Jokowi, Kebusukan Siapa yang Akan Terbongkar?”, Henry mengulas bahwa perseteruan ini tak hanya menunjukkan nuansa politik yang sarat intrik, tetapi juga mengungkap bagaimana hukum diduga dijadikan alat kekuasaan.
Henry Subiakto, yang juga mantan Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa, mencatat, konflik bermula dari klaim Agus Rahardjo, mantan Ketua KPK, yang menyebutkan intervensi Jokowi dalam kasus e-KTP.
Klaim ini diperkuat dengan sikap PDI Perjuangan yang menyebut Jokowi pernah memerintahkan kriminalisasi terhadap Anies Rasyid Baswedan.
Puncaknya adalah pemecatan Jokowi dari keanggotaan PDI Perjuangan, yang menjadi titik panas hubungan kedua pihak.
Dalam responsnya, Jokowi, melalui KPK, dinilai memanfaatkan kasus lama seperti kasus Harun Masiku untuk menyerang balik PDI Perjuangan.
Langkah ini membawa Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, ke status tersangka dalam dugaan obstruction of justice (menghalang-halangi penegakan hukum).
“Hukum telah menjadi alat politik,” ungkap Henry, menggambarkan bagaimana konflik ini menyingkapkan konspirasi-konspirasi yang sebelumnya tersembunyi.
Polemik ini juga berdampak positif bagi masyarakat, menurut Henry. Konflik tersebut membuka mata rakyat tentang bagaimana kekuasaan bekerja di balik layar. Pertengkaran ini, katanya, bisa menjadi pelajaran bagi rakyat yang sering dibohongi.
Drama politik ini dinilai menguntungkan publik, terutama mereka yang tidak berpihak kepada kedua kubu. Dengan saling serang, PDI Perjuangan dan Jokowi berisiko mengungkap lebih banyak skandal, termasuk soal korupsi, dinasti politik, dan kontroversi akademik.
Seperti kata pepatah Jawa yang dikutip Henry, “Becik ketitik, olo ketoro,” yang artinya kebaikan akan tampak, keburukan akan terungkap.
Akankah drama ini menjadi akhir dari kekuasaan kedua belah pihak atau justru mempertegas posisi mereka di peta politik? Publik hanya perlu menunggu kelanjutannya.