Sampang – Jumlah pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang pada 2024, menurut data BPS Kabupaten Sampang, mencapai 7.474 orang. Dalam APBD 2025, menurut data DJPK Kemenkeu, belanja pegawai ini mencapai Rp857,12 miliar atau 40,84 persen dari total belanja daerah sebesar Rp2,09 triliun.
Namun, angka pegawai tersebut belum tentu mencerminkan kualitas birokrasi yang mumpuni. Tingginya jumlah aparatur tak menjamin keandalan sistem, bahkan bisa saja hanya menunjukkan kepadatan.
Sebanyak 5.915 orang atau 79,14 persen merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara sisanya 1.558 orang atau 20,86 persen adalah Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Posisi PPPK sering kali sekadar pelengkap, bukan agen perubahan.
Mayoritas pegawai atau ASN merupakan lulusan sarjana sebanyak 5.010 orang atau 67,01 persen, dan pascasarjana 874 orang atau 11,69 persen. Namun, layanan publik tetap stagnan meskipun gelar akademik terus bertambah.
Masih ada pegawai dengan ijazah SD sebanyak 31 orang atau 0,41 persen, dan SMP sebanyak 61 orang atau 0,82 persen. “Pemerintah tampaknya belum punya standar minimal yang konsisten untuk menjamin kualitas aparatur,” tegas Wahyudi, Dosen UNIBA Madura, Jumat (18/04/2025).
Sebanyak 775 pegawai atau 10,37 persen adalah lulusan SMA, dan 723 orang atau 9,67 persen berasal dari jenjang D1 hingga D4. Hal ini memperlihatkan rekrutmen belum sepenuhnya berbasis pada kompetensi dan kebutuhan.
Secara gender, pegawai laki-laki mendominasi dengan 4.070 orang atau 54,45 persen, sementara perempuan hanya 3.404 orang atau 45,55 persen. Ketimpangan ini mengarah pada bias kebijakan yang minim perspektif gender.
Wahyudi menyentil lemahnya kesetaraan birokrasi lokal. “Selama posisi strategis hanya didominasi laki-laki, maka arah kebijakan tidak akan responsif terhadap isu-isu perempuan dan anak,” katanya.
Struktur yang didominasi ASN menunjukkan ketergantungan pada sistem lama yang belum tentu progresif. Sementara PPPK belum diberi ruang cukup untuk mendorong pembaruan birokrasi.
Meski gelar sarjana (S1, red.) mendominasi, banyak pegawai belum menjalankan tugas berbasis inovasi atau kemampuan riil. Penempatan jabatan diduga sering kali ditentukan oleh relasi politik, kedekatan, dan senioritas.
Wahyudi menggarisbawahi pentingnya perubahan menyeluruh. “Kalau sistem tidak berubah, lulusan S2 (Magister, red.) pun hanya jadi pelengkap data statistik, bukan penggerak reformasi birokrasi,” ujarnya.
Pemkab Sampang harus berani mereformasi struktur birokrasi stagnan dan menerapkan sistem meritokrasi. Data dari BPS semestinya menjadi pijakan untuk keputusan yang rasional dan objektif.