Site icon Madurapers

Pelestarian Bahasa Madura: Di Mana Peran Perguruan Tinggi di Madura?

Muhaimin, guru Bahasa Madura Sekolah Menengah Pertama (SMP) Asshomadiyah, Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur

Muhaimin, guru Bahasa Madura Sekolah Menengah Pertama (SMP) Asshomadiyah, Burneh, Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur (Dok. Madurapers, 2025).

Bangkalan – Bahasa Madura merupakan warisan budaya yang mencerminkan identitas masyarakat Madura. Namun, eksistensinya bisa saja (atau potensial) terancam akibat minimnya perhatian dari berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi.

Pada tahun 2024, bahasa Madura telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTbI) oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Pengakuan ini seharusnya menjadi pemicu bagi berbagai institusi pendidikan untuk lebih aktif dalam upaya pelestariannya.

Bahasa Madura tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan masyarakatnya. Kosakata dan ungkapan khas dalam bahasa ini mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang perlu dijaga.

Di tengah arus globalisasi yang semakin kuat, bahasa Madura berpotensi tergeser oleh bahasa lain yang lebih dominan. Jika tidak ada langkah konkret untuk mempertahankannya, bahasa ini bisa semakin terpinggirkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pelestarian bahasa Madura membutuhkan upaya sistematis,” Salah satunya melalui pendidikan formal. Pengajaran bahasa Madura di sekolah-sekolah dapat menjadi solusi untuk memastikan generasi muda tetap mengenal dan menggunakannya,” jelas Muhaimin, Senin (10/02/2025).

Selain di sekolah, kata Muhaimin, guru Bahasa Madura di SMP Asshomadiyah, Burneh, Bangkalan ini, media massa juga bisa berperan dalam memperkuat eksistensi bahasa Madura. Radio, televisi, surat kabar lokal, dan media sosial dapat menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan bahasa ini kepada masyarakat yang lebih luas.

Sayangnya, pelestarian bahasa Madura masih menghadapi kendala besar, terutama dalam hal tenaga pengajar yang kompeten. “Hingga saat ini, belum ada perguruan tinggi di Madura yang membuka jurusan Sastra atau Pendidikan Bahasa Madura,” ungkapnya.

Ketiadaan jurusan tersebut menyebabkan banyak guru bahasa Madura di sekolah tidak memiliki latar belakang akademik yang sesuai. “Akibatnya, pengajaran bahasa Madura tidak optimal dan kurang mampu membangkitkan minat siswa dalam mempelajarinya,” kata dia.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, kata dia, maka kemampuan menulis dan berbicara dalam bahasa Madura akan semakin menurun. Dalam jangka panjang, bahasa Madura bisa kehilangan generasi penerus yang mampu menggunakannya dengan baik dan benar.

Perguruan tinggi di Madura seharusnya menjadi garda terdepan dalam pelestarian bahasa dan budaya lokal. “Pembukaan program studi Sastra atau Pendidikan Bahasa Madura bisa menjadi langkah awal untuk mencetak tenaga pengajar yang berkualitas,” harapnya.

Selain menghasilkan tenaga pendidik, kehadiran program studi tersebut juga dapat memperkuat kajian akademik mengenai bahasa Madura. Dengan demikian, bahasa ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.

Tanpa peran aktif perguruan tinggi di Madura, pelestarian bahasa Madura akan sulit dilakukan secara berkelanjutan. “Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih serius untuk mendorong dunia akademik agar turut serta dalam menjaga warisan budaya ini,” pungkasnya.

Exit mobile version