Site icon Madurapers

Pemilu Demokratis dan tidak Demokratis: Sama Konsep, Beda Praktek

Mohammad Fauzi adalah peneliti lembaga kajian Tri Dharma Cendekia

Mohammad Fauzi adalah peneliti lembaga kajian Tri Dharma Cendekia (Dok. Madurapers, 2024).

Pemilihan umum (pemilu) secara teoritis menjadi fondasi utama dalam menjalankan pemerintahan demokratis di Indonesia. Pemilu, menurut konstitusi negara Indonesia, adalah perwujudan kedaulatan rakyat, yang secara demokratis memilih pemimpin untuk membentuk pemeritahan dan wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemeritahan. Pengaturan penyelenggaraannya, menurut regulasi kepemiluan, diorientasikan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis

Namun, secara empirik terdapat perbedaan mencolok antara pemilu yang diidealkan dalam konstitusi dan regulasi kepemiluan sebagai mekanisme partisipatif masyarakat dalam menentukan pemimpinnya dengan kenyataan pemilu yang sering kali jauh dari konsep demokratis. Fakta ini menjadi sorotan pelbagai kalangan dalam pemilu 2024, yang dibayang-bayangi dengan praktik politik dinasti, politik uang, mobilisasi kepala desa, netralitas ASN dan TNI/Polri, intimidasi, berita hoaks, kampanye negatif, dan bentuk-bentuk indikasi tindak pelanggaran pemilu lainnya.

Dalam konteks ini, pemahaman terhadap pemilu demokratis dan pemilu tidak demokratis menjadi krusial, sehingga dapat mengidetifikasi masalah demokrasi dalam pemilu dan mengadvokasi prinsip demokrasi dan menjaga pemilu sebagai instrumen partisipasi rakyat yang adil dan bebas. Dengan demikian, penting untuk memahami bagaimana pemilu demokratis dan pemilu tidak demokratis dapat memiliki konsep yang sama namun diimplementasikan dengan praktek yang berbeda.

 

Konsep dan Praktek Pemilu Demokratis dan tidak Demokratis

Konsep pemilu demokratis mendasarkan diri pada prinsip utama, yaitu suara rakyat yang adil dan bebas. Konsep ini menekankan pentingnya memberikan hak suara kepada semua warga negara tanpa adanya diskriminasi atau intervensi yang dapat memengaruhi hasil pemilihan. Pemilu demokratis juga mencakup proses transparan dan akuntabel, di mana seluruh tahapan pemilu terbuka untuk pengawasan publik.

Namun, pada praktek atau kenyataannya, dalam banyak kasus di Indonesia seringkali menghadapi tantangan dalam menjalankan pemilu yang sesuai dengan konsep demokratis. Praktek-praktek seperti politik dinasti, politik uang, intimidasi pemilih, manipulasi hasil, dan ketidaksetaraan akses terhadap media seringkali merusak integritas pemilu. Meskipun konsep pemilu demokratis diakui dalam konstitusi dan regulasi kepemiluan, implementasinya dapat terpengaruh oleh berbagai faktor, seperti kekuatan politik tertentu yang berusaha memanipulasi proses pemilihan.

Di sisi lain, pemilu tidak demokratis konsepnya merujuk pada pemilu di mana terdapat pembatasan yang signifikan terhadap partisipasi atau terdapat praktik-praktik yang melanggar prinsip demokrasi. Beberapa negara mungkin menggunakan struktur politik yang terkesan demokratis, tetapi pada kenyataannya, pemilu dapat diarahkan untuk memihak pihak tertentu. Praktek seperti ini tampak pada pemilu di era Orde Baru dan potensial terulang pada pemilu 2024.

Praktek-praktek seperti pembatasan atau penindasan oposisi politik, manipulasi regulasi kepemiluan, dan pembatasan akses sumberdaya dan media dapat mengubah pemilu menjadi alat untuk mengukuhkan kekuasaan penguasa yang sudah ada. Ini menciptakan pemilu yang hanya bersifat simbolis tanpa memberikan hak suara yang sebenarnya kepada rakyat. Pemilu tidak demokratis seringkali menciptakan ketidaksetaraan yang mendalam dan dapat menjadi ancaman serius terhadap fondasi demokrasi itu sendiri.

 

Tantangan dan Pemilu Demokratis

Pemilu manipulatif dan pengaruh asing potensial menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan pemilu demokratis 2024. Tantangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi bersifat global yang juga terjadi di hampir semua pemilu negara-negara di dunia. Pihak-pihak tertentu, baik dalam negeri maupun asing, dapat menggunakan berbagai strategi untuk memanipulasi hasil pemilu dan mengarahkan kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka.

Manipulasi informasi, kampanye hitam, dan serangan siber menjadi metode yang semakin umum digunakan untuk mempengaruhi pendapat publik dan memanipulasi proses pemilihan. Pengaruh asing juga dapat memainkan peran dalam membentuk narasi politik suatu negara, seringkali tanpa sepengetahuan publik yang memilih.

Untuk membangun pemilu yang sejalan dengan konsep demokratis, kalangan terkait kepemiluan perlu melakukan perbaikan regulasi kepemiluan secara mendalam, yang dapat menyoroti pelbagai tidak kecurangan dan manipulasi pemilu. Transparansi, partisipasi publik yang lebih besar, perlindungan hak asasi manusia, dan penguatan lembaga-lembaga pengawas pemilu menjadi langkah-langkah kunci dalam mewujudkan pemilu yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Selain itu, pendidikan politik yang efektif dapat memberdayakan masyarakat untuk menjadi pemilih yang kritis dan memahami pentingnya pemilu yang demokratis. Masyarakat yang teredukasi memiliki potensi lebih besar untuk mengawasi dan menanggapi potensi pelanggaran dalam pemilu.

Dengan demikian, dapat ditafsirkan meskipun pemilu demokratis dan pemilu tidak demokratis dapat memiliki konsep yang serupa, implementasinya sangat dipengaruhi oleh praktek-praktek tertentu. Oleh karena itu, upaya mengadvokasi secara berkelajutan prinsip demokrasi dan menjaga pemilu sebagai instrumen partisipasi rakyat yang adil dan bebas menjadi penting. Melalui upaya kolektif-kolaboratif, masyarakat dapat memastikan bahwa pemilu tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga sarana yang efektif untuk menentukan arah demokrasi di masa depan.

 

Mohammad Fauzi adalah peneliti lembaga kajian Tri Dharma Cendekia (Dok. Madurapers, 2024).

Exit mobile version