Idulfitri di era kontemporer mengalami pergeseran makna. Perayaan ini tidak lagi hanya berfokus pada nilai-nilai spiritual, tetapi juga semakin dipengaruhi oleh budaya konsumtif. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kapitalisme dan modernisasi mengubah cara masyarakat merayakan Idulfitri.
Radityo Luthfi Fadhil (2016) dalam karya ilmiahnya “Idul Fitri sebagai Gejala Konsumerisme” menjelaskan bahwa perayaan Idulfitri telah menjadi ajang konsumsi masif. Kapitalisme memanfaatkan momen ini untuk mendorong masyarakat berbelanja dalam jumlah besar.
Fakta ini koheren dengan pendapat Jean Baudrillard (2017), dimana dalam karyanya yang berjudul “Symbolic Exchange and Death” menegaskan bahwa konsumsi simbolik semakin mengendalikan masyarakat modern. Media dan industri menciptakan realitas semu yang mendorong perilaku konsumtif dengan memanipulasi kebutuhan dan keinginan individu.
Masyarakat semakin terpengaruh oleh promosi, diskon, dan kemasan religius yang disajikan industri. Belanja bukan lagi sekadar pemenuhan kebutuhan, tetapi juga menjadi bagian dari konstruksi sosial yang menegaskan status dan identitas individu.
Tradisi membeli pakaian baru saat Idulfitri menjadi salah satu contoh nyata konsumerisme. Kebiasaan ini berulang setiap tahun dan semakin mengakar dalam budaya masyarakat, menciptakan tekanan sosial bagi individu untuk mengikuti tren konsumsi.
Uang yang beredar selama Ramadan dan Idulfitri mengalami peningkatan signifikan. Perilaku konsumtif ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, perayaan yang seharusnya menjadi refleksi spiritual kini berubah menjadi ajang pemborosan yang mengabaikan esensi Idulfitri.
Fakta tersebut juga diungkap oleh Ainun Mardiah (2018) dalam penelitiannya “Analisis Perilaku Konsumtif Masyarakat Muslim Menjelang Idul Fitri di Kota Pekanbaru”. Ainun Mardiah mengungkapkan bahwa konsumsi masyarakat melonjak drastis menjelang Idulfitri. Tradisi mudik, berbagi hadiah, dan belanja kebutuhan lebaran menjadi faktor utama peningkatan pengeluaran.
Dorongan sosial dan budaya membuat masyarakat merasa harus membeli barang baru agar dapat tampil lebih baik dan berbagi lebih banyak selama perayaan. Hal ini diperkuat oleh media yang memainkan peran besar dalam membentuk pola konsumsi dengan strategi pemasaran yang agresif.
Akibatnya, banyak individu menghabiskan tabungan atau bahkan berutang demi memenuhi gaya hidup konsumtif. Setelah Idulfitri, mereka menghadapi tekanan finansial yang signifikan akibat pengeluaran yang tidak terkendali.
Islam mengajarkan nilai kesederhanaan dalam perayaan Idulfitri. Konsumerisme yang berlebihan bertentangan dengan esensi ajaran agama yang menekankan kebijaksanaan dalam mengelola harta.
Bijak dalam mengelola keuangan menjadi solusi utama. Masyarakat harus mampu membedakan antara kebutuhan utama dan keinginan semata agar tidak terbebani secara finansial setelah perayaan berakhir.
Angella Yunita Azarah dkk. (2024) dalam penelitian “Budaya Konsumsi Baju Lebaran sebagai Bentuk Sosial Gaya Hidup Konsumtif Pada Desa Jubung Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember” menjelaskan bahwa budaya konsumsi merupakan bagian dari gaya hidup modern. Konsumsi bukan hanya tentang pemenuhan kebutuhan, tetapi juga simbol status sosial.
Media sosial memperkuat pola konsumsi ini. Influencer dan iklan digital memainkan peran besar dalam menentukan preferensi masyarakat terhadap suatu produk, menciptakan dorongan konsumtif yang semakin sulit dikendalikan.
Pola konsumsi yang berlebihan tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga lingkungan. Produksi barang dalam jumlah besar meningkatkan limbah dan eksploitasi sumber daya alam, yang dapat mengancam keberlanjutan ekosistem.
Selain itu, konsumerisme memperparah kesenjangan sosial. Kelompok berpenghasilan rendah kesulitan mengikuti tren konsumsi, yang pada akhirnya memicu tekanan sosial yang lebih besar dalam masyarakat.
Pendidikan mengenai konsumsi bijak menjadi sangat penting. Kesadaran akan keberlanjutan dan pola hidup minimalis dapat membantu mengurangi dampak negatif dari konsumsi yang tidak terkendali.
Pemerintah dan produsen perlu berperan dalam mengendalikan budaya konsumsi. Regulasi terhadap iklan dan kebijakan produksi yang lebih berkelanjutan dapat menjadi langkah strategis dalam menekan dampak negatif konsumtif.
Idulfitri seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat nilai-nilai spiritual dan kebersamaan. Konsumerisme yang berlebihan justru menjauhkan masyarakat dari makna sejati perayaan ini.
Masyarakat perlu mengubah pola konsumsi menjadi lebih bertanggung jawab. Dengan demikian, perayaan Idulfitri 1446 Hijriah/2025 Masehi dapat kembali menjadi ajang refleksi dan berbagi dengan sesama, bukan sekadar momen konsumsi berlebihan.
Mohammad Fauzi, pemerhati sosial-politik, tinggal di Jawa Timur.