Pemilihan umum (pemilu) merupakan basis utama bagi sistem demokrasi sebuah negara. Sayangnya, manipulasi pemilu adalah ancaman yang dapat merusak integritas proses demokratis itu sendiri. Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi, risiko manipulasi pemilu semakin meningkat.
Manipulasi kerap terjadi dalam pemilu di negara-negara demokrasi yang masih muda, termasuk negara Indonesia. Manipulasi pemilu menjadi fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor, bergantung pada jenis rezim demokrasi yang ada.
Manipulasi pemilu dapat mencakup berbagai tindakan atau upaya, baik yang dilakukan secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Beberapa contoh tindakan manipulatif dalam pemilu melibatkan penyelenggara, peserta, atau pihak yang berkepentingan.
Manipulasi pemilu seringkali melibatkan kombinasi dari beberapa tindakan yang dapat merugikan prinsip-prinsip demokratis dalam penyelenggaraan pemilu. Penting bagi masyarakat dan pihak berwenang untuk memonitor dan menanggapi tindakan manipulatif ini guna memastikan bahwa pemilihan berlangsung secara adil dan demokratis.
Praktik-praktiknya, berupa: pertama, pelanggaran hukum, seperti: (1) pencoblosan suara yang tidak sesuai aturan, dan (2) pemalsuan hasil pemungutan suara atau rekapitulasi data. Kedua, intimidasi dan kekerasan, seperti: (1) mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap pemilih atau kandidat lawan, dan (2) memanfaatkan kekuatan fisik atau ancaman untuk mempengaruhi hasil pemilihan.
Ketiga, penipuan dan penyalahgunaan informasi, seperti: (1) menyebarluaskan informasi palsu atau menyesatkan untuk mempengaruhi persepsi pemilih, dan (2) memanipulasi data atau fakta untuk merubah persepsi hasil pemilu. Keempat, penggunaan sumber daya dan struktur, seperti: (1) memanfaatkan kekuatan ekonomi atau sumber daya yang dimiliki untuk memenangkan pemilu, dan (2) memanfaatkan struktur kelembagaan atau media untuk kepentingan politik tertentu.
Kelima, pembatasan akses dan diskriminasi, seperti: (1) membatasi akses ke fasilitas pemilihan bagi kelompok tertentu, dan (2) diskriminasi terhadap pemilih atau kandidat berdasarkan faktor tertentu seperti ras, agama, atau gender. Keenam, manipulasi sistem pemilu, seperti: (1) mengubah aturan pemilihan atau batasan kandidat secara tidak adil, dan (2) memanipulasi pembagian daerah pemilihan untuk keuntungan politik tertentu.
Banyak ilmuan politik dan kepemiluan berupaya untuk menggambarkan berbagai tindakan manipulasi pemilu. Deskripsinya tentang hal itu memberikan kita peta yang menarik tentang taktik dan motif di berbagai konteks politik.
Ada beberapa deskripsi ilmiah tentang manipulasi pemilu dalam kaia empirik ilmuan politik dan kepemiluan. Pertama, Schedler (2002) menghubungkan manipulasi pemilu dengan negara demokrasi baru yang muncul. Rezim otoritarian menggunakan pemilu sebagai alat untuk mempertahankan legitimasi mereka dengan cara menyelenggarakan pemilihan secara berkala.
Kedua, Ziblatt (2009) menyoroti kaitan antara manipulasi pemilu, kelas masyarakat, dan kepemilikan modal. Manipulasi pemilu di rezim hybrid dan otoritarian sering dilakukan secara terstruktur dan sistematis, memanfaatkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial.
Ketiga, Kovalov, Alston, dan Gallo (2009) menjelaskan bagaimana manipulasi pemilu terjadi dengan memanfaatkan celah peraturan dan lemahnya penegakan hukum. Ini menciptakan lingkungan di mana tindakan manipulatif dapat dilakukan tanpa hambatan yang signifikan.
Keempat, Yusra dan Darmawan (2017) memaparkan bahwa di rezim demokrasi yang cacat, manipulasi pemilu terutama terjadi dalam proses pencalonan. Strategi ini dilakukan untuk menghambat kandidat pesaing terkuat, memberikan keunggulan bagi calon yang diinginkan.
Kelima, Hill et.al., (2017) memaparkan manipulasi pemilu di rezim demokrasi yang cacat (full democracies), di mana faktor seperti rendahnya literasi, faktor budaya, dan desain surat suara yang rumit dapat memengaruhi hasil pemilihan.
Keenam, teknikalis desain surat suara dan perolehan suara, Agresti dan Presnell (2002), serta Niemi dan Herrnson (2003), menemukan bahwa manipulasi dalam hal teknikalitas desain surat suara memiliki dampak signifikan terhadap perolehan suara.
Ketujuh, McDonald (1972) memaparkan bahwa manipulasi pemilu dapat muncul dalam bentuk kontrol terhadap peraturan (legal controls) yang lebih permisif atau melalui tindakan manipulasi terang-terangan (fraudulent controls).
Kedelapan, Gehlbach dan Simpser (2011) menyoroti keterkaitan antara manipulasi pemilu dan kontrol terhadap birokrasi. Politikus memanfaatkan ketergantungan birokrat untuk mempertahankan karir dan kesejahteraan.
Kesembilan, Birch dan Carlson (2012) memaparkan bahwa motif utama manipulasi pemilu adalah demi keuntungan partisan, dengan adanya kolusi antara partai politik dan aktor negara, terutama penyelenggara pemilu.
Kesepuluh, Gehlbach dan Simpser (2011) memaparkan bahwa manipulasi pemilu dengan penggunaan kekerasan lebih sering terjadi di Afrika dan Timur Tengah, sementara manipulasi sumber daya tampaknya lebih umum di negara demokrasi Eropa Barat dan Amerika yang lebih maju.
Melalui deskripsi peta perspektif ilmiah para ilmuan politik dan kepemiluan ini, kita dapat melihat bahwa manipulasi pemilu adalah fenomena yang kompleks dan bergantung pada berbagai faktor, termasuk tipe rezim demokrasi, kondisi sosial-ekonomi, dan desain sistem pemilihan itu sendiri.
Mengatasi manipulasi pemilu memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pemilihan, masyarakat sipil, dan media. Dengan implementasi strategi yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat membangun sistem pemilu yang kuat dan dapat dipercaya, menjaga demokrasi tetap hidup dan sehat.
Wahyudi adalah pemerhati bahasa politik dan peneliti di Tri Dharma Cendekia (Dok. Madurapers, 2024).