Site icon Madurapers

Plutokrasi Perbankan, Sistem Usang yang Menghambat Kemajuan Ekonomi Indonesia

Nanda Wirya Laksana, Pimpinan Bukit Damai Group

Nanda Wirya Laksana, Pimpinan Bukit Damai Group (Sumber Foto: Madurapers, 2025).

Di balik gemerlap berita pertumbuhan ekonomi nasional, terselip kenyataan pahit yang kerap diabaikan: sistem perbankan Indonesia masih sangat terjebak dalam praktik plutokrasi. Di era di mana kemajuan seharusnya diraih melalui inovasi dan inklusivitas, perbankan justru lebih memilih berpihak kepada kelompok elit dan konglomerat besar, meninggalkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam bayang-bayang ketidakadilan.

Fakta empirik ini melahirkan kritik tajam terhadap terhadap sistem perbankan yang ada. Selama bankir mengedepankan sistem plutokrasi—di mana hubungan dekat dan koneksi menjadi kunci utama pemberian kredit—Indonesia tidak akan pernah mampu mencapai kemajuan yang sejati.

Bankir yang seharusnya bekerja secara objektif, ternyata masih terjebak dalam pola pikir yang mengutamakan kepentingan segelintir pihak. Padahal, apabila mereka menerapkan prinsip meritokrasi, proses pencarian nasabah dan penyaluran kredit akan jauh lebih adil dan efisien.

Sistem yang timpang ini terlihat jelas dari kenyataan di lapangan. Swasta besar dan konglomerat selalu mendapatkan privilege yang berbeda, mulai dari kemudahan akses kredit hingga perlakuan khusus dalam proses appraisal aset.

Di sisi lain, pengusaha UMKM—yang sesungguhnya merupakan tulang punggung ekonomi nasional—sering kali harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan fasilitas yang sama. Ketimpangan inilah yang menjadi akar dari stagnasi pertumbuhan ekonomi riil, meskipun statistik makro menunjukkan angka-angka yang menggembirakan.

Di balik data pertumbuhan ekonomi yang kerap dipamerkan di media, tersimpan ironi yang tak terelakkan. Banyak nasabah yang awalnya dianggap sebagai mitra strategis bank, justru berakhir dengan kegagalan finansial. Meskipun bank menyatakan angka Non-Performing Loan (NPL) yang sehat di bawah 5 persen, dampak riilnya terasa di kalangan pelaku usaha kecil.

Sistem appraisal aset yang tidak konsisten membuat nilai jaminan seringkali tidak sejalan dengan nilai pasar. Akibatnya, ketika terjadi gagal bayar, lelang aset pun tak mampu menutupi sisa hutang yang ada. Fenomena ini menunjukkan bahwa angka-angka positif di atas kertas tidak selalu mencerminkan kesejahteraan ekonomi masyarakat luas.

Kritik tajam terhadap sistem perbankan ini tidak sekadar masalah teknis atau statistik belaka. Ini merupakan refleksi dari pola pikir kapitalis yang telah mengakar kuat dalam tatanan keuangan nasional. Dengan menitikberatkan pada keuntungan instan dan hubungan personal, bankir cenderung mengabaikan potensi besar yang dimiliki oleh UMKM.

Padahal, jika UMKM diberikan fasilitas dan privilege yang setara, mereka berpotensi tumbuh menjadi perusahaan besar yang mampu mendongkrak perekonomian secara menyeluruh. Dalam konteks ini, sistem meritokrasi bukan hanya soal keadilan, tetapi juga soal efisiensi ekonomi yang sesungguhnya.

Lebih jauh, realitas di lapangan mengungkapkan bahwa banyak pengusaha yang harus berjuang sendirian tanpa dukungan sistemik dari perbankan. Pengalaman pribadi Wirya, yang memulai usaha sejak usia belia tanpa bimbingan orang tua, mencerminkan betapa kerasnya perjuangan dalam dunia bisnis.

Tanpa adanya akses kredit yang adil, kreativitas dan semangat kewirausahaan yang tumbuh dari nol sering kali terhenti di tengah jalan. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki oleh para pelaku UMKM malah menjadi korban dari sistem yang berat sebelah.

Ironi lainnya, sistem perbankan yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi justru memperlebar jurang ketidaksetaraan. Dalam ekonomi yang ideal, setiap pelaku usaha—besar maupun kecil—seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.

Namun, realitas menunjukkan sebaliknya. Hanya segelintir korporasi besar yang mampu menikmati segala fasilitas dan dukungan, sementara pengusaha kecil harus berjuang dalam kegelapan birokrasi dan kebijakan yang tidak berpihak. Kebijakan semacam ini, jika dibiarkan terus berjalan, akan semakin memperparah kesenjangan ekonomi dan menunda tercapainya kemakmuran yang merata di Indonesia.

Reformasi menyeluruh dalam sistem perbankan kini menjadi sebuah keharusan. Sudah saatnya para bankir membuka mata dan meninggalkan praktik plutokrasi yang sudah usang. Dengan mengadopsi prinsip meritokrasi, bankir tidak hanya akan memperluas jangkauan nasabahnya, tetapi juga turut berkontribusi dalam membangun ekosistem ekonomi yang lebih inklusif.

Langkah ini akan membuka peluang bagi UMKM untuk berkembang, menciptakan lapangan kerja baru, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih berkelanjutan.

Sungguh memprihatinkan jika kita terus membiarkan sistem yang timpang ini berlangsung. Indonesia memiliki potensi besar, tetapi potensi tersebut tidak akan pernah terwujud jika sebagian besar pelaku usaha dibiarkan terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak adil.

Transformasi menuju ekonomi yang adil dan inklusif harus dimulai dari reformasi perbankan, di mana keadilan dan meritokrasi menjadi dasar utama dalam setiap keputusan finansial.

Jika pemerintah dan lembaga keuangan tidak segera melakukan perubahan mendasar, maka Indonesia hanya akan menjadi negara yang “maju di atas kertas” sementara masyarakatnya terus merasakan dampak negatif dari sistem yang tidak berpihak ini.

Waktunya untuk meninggalkan praktik kapitalis yang merugikan dan membuka jalan bagi era baru di mana setiap pengusaha, tanpa kecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dan tumbuh.

 

Nanda Wirya Laksana, pimpinan Bukit Damai Group Sumenep sekaligus pengusaha properti termuda se-Indonesia.

Exit mobile version