Jombang – Hasil pantauan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini dari Fraksi PKB terdapat perbedaan informasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Kementerian Pertanian (Kementan) terkait data ketersediaan beras, Sabtu (4/2/2023).
Untuk itu ia meminta komunikasi publik antar stakeholder di pemerintah harus terbangun dengan baik, khususnya terkait dengan data ketersediaan beras.
Data Bapanas, menurutnya, menyatakan bahwa persediaan beras minus dalam waktu enam bulan ke depan, sedangkan data yang disampaikan Kementan berdasarkan BPS, persediaan beras sudah surplus.
“Ini yang perlu kita gali lebih banyak dan kita tadi lihat di lapangan benar memang tidak ada barangnya (beras),” ujar Anggia.
Ungkapan itu ia sampaikan saat memberikan sambutan dalam Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspik) Komisi IV DPR RI ke Kabupaten Jombang, Kamis (2/2/2023).
Tim Komisi IV DPR RI melakukan Kunspik tersebut adalah dalam rangka melihat langsung ketersediaan beras di dua pabrik penggilingan padi di Jombang, baik yang berkapasitas produksi kecil maupun besar.
Yaitu, penggilingan padi yang dikelola oleh Gapoktan Pojok Kulon memiliki kapasitas produksi gabah kering yang lebih kecil, yaitu hanya 15 (lima belas) ribu ton per hari.
Sedangkan, kapasitas produksi PT SMK memiliki kapasitas produksi yang lebih besar, yaitu mencapai 350.000 ton per hari dengan mendatangkan gabah dari daerah lain.
Dari hasil Kunspik itu, Tim Komisi IV DPR RI saat di penggilingan, tidak ketemu yang namanya beras atau beras.
Karena itu, ia menjelaskan, kalau misalnya kedua data yang berasal dua institusi itu sama-sama memiliki kebenaran maka perlu dibangun komunikasi yang lebih baik.
Sebab, tegasnya, beras ini masalah krusial yang harus ditangani, apalagi sekarang ini di tengah-tengah isu global krisis pangan.
“Isu ini harus kita tangani dengan baik. Kalau datanya salah, penyikapannya juga salah, nanti intevensinya salah, jangan-jangan nanti kita kekurangan pangan,” khawatirnya.
Menanggapi itu, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi menerangkan acuan data yang digunakan institusinya adalah data yang berasal dari BPS.
Sebab, menurutnya, hal itu sebagaimana amanat dari undang-undang. Ia berharap tiap pihak tidak salah dalam menafsirkan data yang disajikan dari BPS tersebut.
Ia berharap dengan penjelasan ini tidak salah membaca data. Kementan gunakan satu data, yakni dari BPS. Meski Kementan juga melakukan pemantauan, tapi yang digunakan adalah data BPS.
Ia menerangkan perbedaan pengertian mengenai surplus-defisit dengan stok. Kalau surplus-defisit adalah selisih produksi dikurangi konsumsi.
Karena itu, menurutnya, jangan dicampur soal surplus-defisit itu dengan stok. Stok itu barang statis, kalau surplus-defisit ini bersifat dinamis.
Stok itu ada di mana-mana, ada di Bulog, rumah tangga, di penggilingan, dana sebagainya butuh survei dari BPS juga. Surplus defisit beda, stok juga beda.