Sumenep – Program Benchmarking to Best Practice atau bimbingan teknis (bimtek) Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, kembali mendapatkan sorotan.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) dari DPMD Sumenep dengan Nomor 400.2.2/379/112.2/2024 tanggal 14 Juli 2024, seluruh kepala desa (kades) diharuskan mengikuti studi banding tersebut.
Para kades berangkat pada Kamis (25/07/2024) sekitar pukul 16.00 dari Stasiun Gubeng, Surabaya, menuju Bandung. Berdasarkan data yang diperoleh, ada tiga hotel mewah yang menjadi tempat menginap para kades Sumenep di Bandung: Hotel Aryaduta Bandung, Crowne Plaza Hotel Bandung, dan Best Western La Grande Hotel Bandung.
Diketahui, program ini dirancang untuk meningkatkan kapasitas serta wawasan para kades dan mengembangkan potensi desa.
Namun, program ini menuai kontroversi dari berbagai pihak. Beberapa kades ragu dan menentang pelaksanaannya.
“Ini bukan seperti rekreasi gratis,” kata salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya. Setiap kades harus membayar Rp7,5 juta per orang.
Biaya bimtek atau perjalanan ke Kota Bandung ini tidak berasal dari kantong pribadi kades, melainkan dari Dana Desa (DD), yang seharusnya digunakan untuk program peningkatan kapasitas kades.
Ketua Bidang Investigasi Hukum dan HAM PWRI Sumenep, Rudi Hartono, menyatakan bahwa dana sebesar itu seharusnya digunakan untuk proyek pembangunan infrastruktur.
“Banyak jalan desa yang rusak dan warga yang memerlukan bantuan makanan. Dana sebesar itu bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi desa masing-masing,” kata Rudi kepada media pada Sabtu (27/7).
Rudi juga mengkritik bahwa anggaran studi banding ke Bandung tidak transparan dan hanya dijadikan ajang “foya-foya” oleh Kepala DPMD Sumenep, Anwar Syahroni Yusuf, dan para Asosiasi Kepala Desa (AKD).
“Kunjungan studi banding seharusnya memberikan hasil yang nyata dan bermanfaat bagi pengembangan desa, bukan hanya sebagai ajang jalan-jalan dinas,” tegas Rudi.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, sumbangan Rp7,5 juta per kades diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) 2024 atau dialokasikan mendahului APBDes perubahan.
Dana yang terkumpul dari setiap desa hingga mencapai Rp2,4 miliar berasal dari 27 kecamatan dan 332 desa. Dana ini dikumpulkan oleh AKD kecamatan dan disetorkan ke DPMD Sumenep.
Rudi menduga bahwa DPMD Sumenep menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompok, dengan menarik dana sebesar Rp7,5 juta dari setiap desa.
Rencana studi banding para kades ke Kota Bandung dibahas dalam rapat DPMD Sumenep bersama pengurus AKD dan camat pada 9 Juli 2024. Surat undangan untuk rapat koordinasi juga sudah disebar ke setiap desa oleh camat pada 11 Juli 2024.
Dana Rp7,5 juta dari setiap desa dikumpulkan oleh AKD dan kecamatan, lalu dikoordinasikan oleh DPMD Sumenep untuk pelaksanaan kegiatan. Sebanyak 330 kades akan mengikuti bimtek dari tanggal 24 hingga 29 Juli.
Kepala DPMD Sumenep, Anwar Syahroni Yusuf, sulit dihubungi oleh wartawan untuk dimintai konfirmasi terkait program ini. Upaya konfirmasi melalui pesan WhatsApp dan telepon tidak direspon.
Ketua AKD Sumenep, Miskun Legiono, mengatakan bahwa pembiayaan program tersebut dikelola oleh pihak ketiga. “Pembayaran langsung ke pihak ketiga. Mereka yang mengelola,” kata Miskun saat diwawancara.
Menurut Miskun, kegiatan tersebut sudah disetujui oleh seluruh kades karena merupakan amanat undang-undang desa. “Ini amanat undang-undang yang harus dilaksanakan,” ujarnya.
Miskun juga menegaskan bahwa surat ke DPMD Sumenep agar memfasilitasi kegiatan ke Bandung sudah dikirim oleh pihaknya. “Saya kirim surat ke Bupati Cq DPMD. Dan semua pembayaran tidak bayar ke DPMD atau AKD. Tidak benar ada sumbangan Rp7,5 juta. Perlu dibedakan sumbangan dengan transportasi, kalau transportasi itu dipakai sendiri,” jelas Miskun.
Sejumlah Kades Mengeluh, Uang Sumbangan Dinilai Berlebihan
Sejumlah kepala desa di Sumenep ternyata masih ada yang keberatan atas sumbangan sejumlah Rp7,5 juta untuk biaya studi banding ke Bandung.
Salah satu kades yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku terpaksa ikut ke bumi berjuluk Kota Kembang.
“Eman biayanya mahal,” katanya, saat dikonfirmasi media.
Narasumber dari kades lainnya juga mengaku demikian. Bahkan, kata dia, sejumlah camat yang ikut ke Bandung biayanya juga dibebankan kepada pihak desa.
“Iya hasil sumbangan memang benar,” tutup salah satu kades yang juga meminta identitasnya dirahasiakan tersebut.