Bangkalan – Jelang Pilpres 2024 publikasi survei elektablitas capres-cawapres gencar dilakukan lembaga-lembaga survei elektablitas. Seperti jamur di musim hujan, survei ini menyemarakkan demokrasi elektoral Pilpres 2024, tapi juga bisa meracuninya, Senin (27/11/2023).
Bagi kalangan terkait langsung survei elektabilitas atau kalangan yang diuntungkan survei ini menyebut survei elektablitas penting dalam Pilpres 2024. Namun, sebagian kalangan lain yang tidak terkait langsung dengan survei elektabilitas meragukan objektivitas kegiatan survei ini.
Mereka tidak percaya objektivitas dan netralitas lembaga-lembaga survei tersebut. Ismail Hasani Ketua Badan Pengurus Setara Institute menyampaikan bahwa survei elektablitas capres-cawapres hanya menyuguhi publik objek hasil survei yang tak masuk akal (tidak rasional).
Ia juga mempertanyakan posisi lembaga survei tersebut. Bisa saja mereka merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye, agitator yang berlindung di kebebasan akademik, yang ditugasi menggiring opini publik sesuai kehendak pihak yang menugasi. Untuk itu, ia mendesak lembaga-lembaga survei agar netral dalam melakukan kegiatan survei di Pilpres 2024, Kamis (23/11/2023).
Koheran dengan Ismail Hasani, Neni Nur Hayati Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menyampaikan, lembaga survei itu seharusnya dapat bekerja secara independen (objektif, red.), yakni objektif dalam perhitungan ilmiah sesuai dengan metode statistik yang berlaku dan publikasi hasil surveinya.
Survei elektablitas seperti ini, menurutnya, dapat memicu konflik berkepanjangan dalam legitimasi proses pemilu. Untuk itu pendanaan lembaga survei elektabilitas capres-cawapres perlu diaudit. Sementara publik (masyarakat, red.) untuk bijaksana dan cerdas merespon dan membaca hasil survei seperti ini.
Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Agus Prihatna Senior Pollster, mantan Kepala Divisi Penelitian LP3ES. Ia menyampaikan, publik tidak perlu merespon berlebihan hasil survei elektabilitas. Hal ini karena seringkali prediksi lembaga-lembaga survei meleset, tidak mengukur (tidak valid, red.), dan indikatif, Senin (31/10/2022).
Mencermati hal itu semuanya, Wahyudi Peneliti Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) menyampaikan kepada awak media Madurapers, bahwa publik tidak usah merespon berlebihan survei-survei tersebut. Hal ini karena objektivitas dan rasionalitas survei-survei seperti itu diragukan, sehingga bisa saja prediksi hasil surveinya meleset. Bagi yang percaya survei ini tentu mengecewakan sekali.
“Sudahlah, gak usah merespon berlebihan prediksi hasil survei. Perilaku politik itu dinamis sehingga ketika disurvei akan terus berubah-ubah. Karena itu dinamis, maka fenomenanya tidak konstan (tak berubah),” pungkas Wahyudi, Senin (27/11/2023).