Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selanjutnya disebut PMII merupakan organisasi yang secara tegas menegaskan identitas diri agamis dan nasionalis. Disebutkan dalam tujuan PMII, yakni untuk membentuk pribadi Muslim Indonesia, yang bermakna includ atau seimbang antara keagamaan dan kebangsaan.
Artinya, PMII berusaha menempatkan diri di tengah-tengah perdebatan akut antara kelompok haluan radikalisme dan liberalisme. Posisi ini atas dasar haluan berfikir PMII (manhaj), yakni moderat (tawaasuth) sebagaimana tertuang dalam prinsip ahlussunnah wal jamaah.
Ke-Islam-an PMII tidak mengajak untuk mendirikan negara Islam seperti beberpa negara di timur, seperti Iran, Suriah dan sebagainya. Pun juga ke-Indonesia-an PMII tidak menafikan keberagaman bangsa yang kompleks dengan keberagamaan pula.
Seperti yang terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan, perebutan identitas negara terjadi antara kubu Sukarno dan Kahar Mudzakar. Sukarno dengan sekawanannya komitmen untuk mendirikan negara kesatuan yang menyatukan pelbagai perbedaan di Indonesia, sebaliknnya Kahar Mudzakar dengan gerakan DI/TII menggalakkan negara dengan lebel Islam.
Sukarno menilai dengan menghilangkan lebelitas salah satu agama akan lebih efektif untuk menyatukan berbagai perbedaan yang ada, berbanding terbalik kubu Kahar Mudzakkar mendorong agar kesatuan itu diwadahi Islam sebab mayoritas bangsa Indonesia adalah Islam dengan tanpa mendiskriminasi hak pemeluk agama lain.
Berlanjut perdebatan ini sampai pada kemudian hari diputuskan melalui konsensus menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mempertentangkan paham kegamaan dengan kebangsaan dalam konteks kekinian tidak lah dewasa. Kita akui bahwa di dalam ajaran Islam mengajarkan spirit nasionalisme (ayat An Nisak) begitupun juga dalam prinsip nasionalisme seirama dengan paham keagamaan.
Bila diperkenankan mengutip ungkapan Mahatma Gandi yang sering dikutip oleh Sukarno, “my nasionalism is humanity” bahwa demokrasiku adalah kemanusiaan. Maka kesimpulannya antara agama dan negara sama-sama di Bangun atas dasar kemanusian atau memanusiakan manusia.
Kunto Wijoyo dalam hal ini menawarkan teori objektivisme. Objektivisme yang dimaksud adalah menerapkan secara nilai atau spirit Islam tanpa membawa kemasannya. Toh, buat apa juga secara kemasan Islam akan tetapi sikap dan tindakan jauh dari cerminan nilai-nilai keislaman.
Perdebatan soal bentuk Negara dirasa sudah tidak perlu diperpanjang. Meskipun memang secara gerakan akar rumput masih ada upaya pengelabuhan yang dilakukan golongan tertentu. Semestinya, soal ini kita anggap selesai dan kedepannya kita berbicara atau memperdebatan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk kemajuan negara.
Tinggal selanjutnya bagaimana pembinaan terhadap generasi kedepan agar tidak terkontaminasi oleh paham yang berpotensi perpecahan.
PMII sebagai organisasi yang terorganisir dan terstruktur mulai tingkat paling bahawa, Rayon sampai pada tingkatan Nasional melakukan pembinaan ideologis melalui kaderisasi di setiap jenjangnya, baik MAPABA, PKD, PKL dan PKN sebagai upaya menanaman ideologi yang agamis dan nasionalis.
Kita akui bahwa PMII pernah tergelincir dalam sejarah kala PMII menjadi anderbow partai politik NU. Tapi tidak sepenuhnya ini menjadi salah yang tidak bisa dimaafkan. Perlu kita kaji ulang dan selami apa alasan di balik hal tersebut. Ini juga pernah menjadi kegelisahan pribadi penulis.
Sampai pada akhirnya penulis temukan jawabannya dalam karya Fauzan Al-Faz. Dalam karya itu disebutkan posisi PMII kala itu merupakan kebutuhan Negara yang menghadapi carut-marut perpolitikan pasca Pemilu pertama 1950. Sehingga PMII perlu untuk memposisikan diri dan ambil peran di dalam kacaunya perpolitikan.
Iktikad baik untuk mengembalikan PMII pada khittah sebagai organisasi kemahasiswaan terwujud pada 1972 dengan adanya deklarasi Murnajati, Lawang, Malang yang menyatakan diri PMII sebagai organisasi basis kaderisasi atau sederhananya adalah organisasi pembinaan, pembimbingan, penempaan dan pembekalan kader. Diharapkan kelak akan melahirkan pribadi ulul albab, kader yang berkualitas, yang mempunyai nilai tawar tinggi.
Di bulan Oktober ini, bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional, penulis tergerak untuk menuangkan curahan hati dalam sebuat tulisan sederhana ini. Sebab, di lingkaran kader PMII kabupaten Bangkalan ada sebuah kegelisahan untuk mencari formulasi kaderisasi bagi kader yang notabenanya adalah santri. Agar tidak terlalu melebar, santri yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka yang masih setatus santri aktif di pondok pesantren.
PMII Bangkalan mempunyai 9 Komisariat dan 14 Rayon. 6 di antaranya adalah komisariat yang berdiri di bawah naungan pondok pesantren. Maka perlu untuk membuat formula kaderisasi yang sekiranya efektif dan relevan dengan kondisi dan kebutuhan yang mereka hadapi agar hal ini tidak menjadi pagar penyekat antara identitas santri dan Kader PMII.
Mau bagaimana pun, yang namanya pesantren mempunyai aturan normatif yang harus ditaati, yang membatasi ruang gerak santri, juga keterbatasan fasilitas dan informasi. Penulis paham betul masalah ini, karena penulis juga pernah nyantri. Untuk ikut demo, tidak bisa. Mau melakukan kajian-kajian pemikiran kiri kesulitan di samping bukunya tidak ada, serta tidak ada partner diskusi pula.
Apabila melihat sekala universal, PMII dilegitimasi sebagai organisasi gerakan yang hanya tahu demonstrasi, ngopi pagi ketemu pagi, dan sebagainya.
Bahwa ada sebuah konstruksi stigma negatif terhadap PMII yang selama ini berlangsung dan dipraktekan. Di sini, memunculkan kesan kontradiksi antara Kader PMII dan Santri yang kemudian penulis sebut dualisme identitas.
Akibat salah memproyeksikan PMII, tidak jarang memang kader PMII yang sekaligus merangkap santri tidak bisa sepenuhnya aktif di PMII, berproses atau menempa diri akibat keterbatasan yang menyelimuti mereka. Dari itu, perlu adanya tawaran segar supaya sekat penghalang ini tidak tampak menyeramkan.
Sebagaimana tawaran pola kaderisasi oleh Pengurus Besar PMII, yaitu Kaderisasi Multi Dimensi. Sederhananya, yaitu pola atau sistem kaderisasi yang dapat masuk segala ruang dan relevan dengan zaman.
Jadi perlu ditegaskan, bahwa berposes di PMII tidak hanya soal ngopi dan demo. Lebih dari pada itu, PMII harus bisa merangkul semua elemen dalam segala tingkatan khususnya dapat melakukan binaan secara sistemik terhadap kader santri.
Perlu dibangun mindset sejak dini, bahwa keterbatasan santri yang kompleks jangan melulu dilihat sebagai beban, masalah, tapi harus kita lihat sebagai potensi dan peluang. Dalam hal ini kita memanfaatkan teori Analisis SWOT (teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman).
Ruang yang paling memungkinkan diakses oleh santri adalah pengembangan potensi dan skil, bisa dalam bentuk pelatihan public speaking, diskusi, menulis, atau pelatihan menjahit bagi kader Santriwati Kopri, pelatihan teknologi dan lainnya sebagai upaya meningkatkan produktivitas.
Paling tidak mislakan kader santri membuat suatu karya, karya tulis, buku, atau karya seperti baju dan elektorik. Kita saat ini hidup di zaman pertarungan karya, sehingga oleh PB PMII membangun pradigma Produktif tersebut.
Di kali lain, santri akrab dengan kajian keislaman klasik. Jadi santri akan diperkenalkan dengan kitab kuning, kita-kitab yang bagi penulis melihat saja bosan apalagi membacanya dan panulis yakin kader PMII lainnya juga demikian. Kenapa tidak misalkan kader santri PMII melakukan kajian secara inten literatur kitab klasik.
Toh, banyak pula literatur pemikiran kiri – kegemaran kader PMII – yang berbentuk kitab seperti karya Abid Al-Jabiri. Ini menjadi nilai tawar bagi kader PMII yang selama ini terkesan berjarak dengan kitab klasik.
Kita bagi tugas, soal gerakan frontal biar kader PMII non Santri, kader santri PMII melakukan penempaan potensi dan mengasah skil. Gerakan akan seimbang, satu sama lain saling melengkapi. Maka dengan ber-PMII menjadi Santri sejati.