Opini  

Resentralisasi Pemerintahan Jokowi Menghambat Penerapan Paradiplomasi di Indonesia

Sumber Foto: Istimewa

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia tengah terusik dengan isu-isu resentralisasi dari pemerintah yang tengah dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Bermula dari pengesahan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) diikuti oleh pengesahan UU cipta kerja, UU Otsus Papua, dan UU Perpres (Peraturan Presiden).

Pengesahan UU tersebut telah memangkas peran Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola daerah atau subnasional. Pasal-pasal yang telah disahkan tersebut merupakan pasal yang menggerus kewenangan pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah tidak memiliki wewenang lagi untuk mengelola daerah dengan bebas karena sudah ada campur tangan pemerintah pusat.

Dalam studi hubungan internsional, peran daerah juga dipetakan atau masuk pada bagian aktor yang melakukan hubungan dengan negara-negara lain secara langsung tanpa melibatkan pemerintah pusat. Studi hubungan internasional menjadikan pemerintah daerah sebagai aktor yang menjalankan peran paradiplomasi. Peran ini dilakukan sebagai kerjasama dengan pemerintah daerah yang ada di negara lain dalam mengembangkan ekonomi yang berbasis kedaerahan.

Konsep paradiplomasi merupakan perkembangan dari diplomasi itu sendiri. Diplomasi merupakan bentuk seni dari cara negara dalam melakukan dialog untuk bernegosiasi dengan dan/atau kerjasama antar negara. Jadi, penerapan diplomasi dilakukan oleh satu negara dengan negara lain di mana negara menugaskan seorang diplomat bernegosiasi dengan diplomat negara lain dalam rangka implementasi kebijakan luar negeri, terutama dalam hal pembentukan perdamaian dan penyelesaian konflik. Sementara paradiplomsi sebagaimana menurut Duchacek dan soldatos, adalah aktivitas yang merujuk pada hubungan internasional, rgional, maupun lokal, untuk kepentinganya.

Paradiplmasi berkembang sejak tahun 1960-an dan mengacu pada banyaknya aktor yang terlibat dalam melakukan hubungan luar negeri. Sehingga, konsep diplomasi yang sangat kaku menjadi semakin fleksibel sesuai dengan kepentingan aktor-aktor selain negara.

Aktor-aktor yang dimasuk pada bagian paradiplomasi adalah kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepentingan mereka seperti lingkungan, kesehatan, sanitasi, ataupun pendidikan. Adanya aktor-aktor selain negara dalam melakukan hubungan luar negeri mengindikasikaan bahwa pemetintah telah mempertinggi hak dan peran dinvidu dalam melakukan diplomasi.

Namun begitu, tidak semua hal bisa dilakukan oleh aktor diplomasi non negara. Ada dua hal yang hanya bisa dilakukan oleh negara yaitu perdamaian dan resolusi konflik. Dua hal ini hanya dilakukan oleh perwakilan negara yang biasa dilakukan oleh seorang diplomat dengan mengikuti beberapa prosedur yang berlaku. Adapun hal yang bisa dilakukan oleh aktor non negara ini diantaranya meliputi kesehatan, pendidikan, wanita, ketenagakerjaan dan sebagainya.

Tujuan dari konsep paradiplomasi diantaranya; (1) peningkatan pemahaman dan kesadaran aktor sub nasional dalam diplomasi; (2) penguatan kapasitas dan kapabilitas aktor sub nasional; (3) meningkatkan rasa tanggung jawab dan kepentingan bersama dalam keselarasan; dan (4) memaksimalkan proses pencapaian kepentingan daerah, hak daerah, dan potensi daerah, dalam berbagai bentuknya.

Bentuk dari kerjsama pelaku paradiplomasi bisa dilakukan dengan berbagai bentuk kerjasama seperti pembentukan sister city, FDI (Foreign direct invesment), pembentukan proyek bersama, dan pengiriman delegasi.

Sementara itu paradiplomasi memiliki tiga tipe bentuk pelaksanaanya: (1) transborder paradiplomacy. Tipe ini terjadi pada suatu hubungan diplomasi yang diperankan oleh sub nasional yang berbatasan langsung secara geografis; (2) transregional paradiplomacy. Hubungan kerjasama yang dilakukan oleh aktor sub nasional yang berbeda dalam satu kawasan, akan tetapi tidak berbatsan langsung; dan (3) global paradilomacy. Hubungan kerjasama yang dilakukan oleh aktor sub nasional yang berasal dari kawasan yang berbeda.

Indonesia sudah mengakuisisi peran aktor non negara dalam UU pasal 37 1999 yang menyabutkan bahwa pelaku hubungan internasional meliputi pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, baik lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya, atau warga negara.

Adanya UU yang sudah diatur oleh pemerintah ini cukup membuat aktor sub nasional menjadi semakin produktif. UU tersebut membuat pemerintah daerah atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan menjadi semakin luwes untuk melakukan hubungan luar negeri tanpa ada intervensi dari pemerintah pusat.

Kilas balik keberhasilan hubungan kerjasama pemerintah daerah bisa dilihat dari hubungan beberapa pemerintah daerah dengan luar negeri menggunakan bentuk kerjasama siter city. Beberapa daerah diantaranya Darah Istimewa Yogyakarta dengan Kyoto, Jakarta dengan beberapa sub nasional negara lain seperti Jeddaah, Tokyo, Los Angeles, Casablanca, Hanoi, Moskow, dan Surabaya dengan Liverpool, Xiamen, Kitakyuzu, Gaziantep dan beberapa pemerintah daerah yang lain yang tidak penulis sebutkan.

Kerjasama sister city ini dilakuakn oleh sebuah daerah di suatu negara dengan daerah di bagian negara lain untuk mengembangkan potensi yang ada di derah tertentu. Yang pasti ada kesamaan antara dua daerah tersebut sehingga bisa dilanjutkan dengan hubungan kerjasama antar daerah negara yang berbeda.

Kerjasama ini dilakukan karena ada wewenang dari pemerintah daerah untuk mengelola daerah tersebut. Kerjasama ini berlangsung tanpa ada campur tangan dari pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah memiliki kebebasan dalam melakukan kerjasama apupun termasuk pengembangan sumberdaya alam.

Berhubung telah ada perubahan kebijakan terkait wewenang pemerintah daerah, maka penerapan konsep peradiplomasi di Indonesia perlu dikaji ulang. Dengan beralihnya wewenang pemerintah daerah ke pemerintah pusat (resentralisasi), maka kebebasan pemerintah daerah untuk mengelola potensi kekeyaan daerah baik potensi alam atau potensi manusia akan semakin terhambat, terutama saat memahami UU Cipta Kerja mengenai pengelolaan tata ruang yang perlu melibatkan pemerintah pusat. Kebijakan ini mempersulit keleluasaan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerah yang memiliki potensi untuk melakukan kerjasama dengan luar negeri.

Sebelumnya konsep paradiplomasi masih cukup sulit untuk diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia dikarenakan proses birokrasi yang cukup rumit, apalagi ditambah dengan pengesahan UU yang perlu melibatkan pemerintah pusat, maka kebijakan tersebut akan semakin menghambat keberhasilan aktor paradiplomasi untuk melakukan kerjasama hubungan luar negeri.

Ma’iyah Arrosyid, Tampojung Tengah, Waru, Pamekasan. Mahasiswi semester akhir Universitas Respati Yogyakarta. Prodi S1 Hubungan Internasional. Mantan ketua Himpunan Muslimah (HIMMAH) FKMSB wilayah Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca