Pamekasan – Kabupaten Pamekasan, yang kini berada di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, adalah wilayah yang memiliki sejarah panjang yang dimulai dari masa kerajaan, yakni Kerajaan Pamelingan.
Wilayah ini, mengutip dari sumber resmi Pemeritah Kabupaten Pamekasan, awalnya dikenal sebagai Pamellengan, diperintah oleh Ki Wonorono, keturunan Raja Majapahit Wikramawardhana. Ketika Majapahit runtuh sekitar tahun 1478, Pamelingan memerdekakan diri.
Perkembangan Kerajaan dan Masuknya Islam
Pemerintahan Ki Wonorono diteruskan oleh Nyi Banu, lalu Pangeran Bonorogo, dan akhirnya Raden Aryo Seno atau Pangeran Ronggo Sukowati. Pada masa Aryo Menak Senoyo, Islam mulai masuk ke Pamelingan, terutama melalui peran Walisanga. Pada tahun 1515, berdiri Pondok Pesantren Sombher Anyar Tlanakan, yang dipimpin oleh Kiai Syuber.
Nama Pamekasan mulai dikenal setelah Pangeran Ronggo Sukowati naik tahta pada 12 Rabiul Awwal 937 H (3 November 1530), yang kini menjadi hari jadi Kabupaten Pamekasan. Sebagai raja Islam pertama, ia memperluas wilayahnya ke Jamburingin dan Lambang Lor, serta memindahkan keraton dari Labangan Daja ke Mandhilaras, lokasi yang kini menjadi Gedung Bakorwil.
Pangeran Ronggo Sukowati juga mengembangkan tata kota Pamekasan dengan membangun Masjid Agung Asy Syuhada’, pasar, penjara, serta asrama militer. Beberapa nama kampung di Pamekasan mencerminkan fungsi masa kerajaan, seperti Parteker (tempat mengaji), Pangeranan (kediaman pangeran), dan Menggungan (tempat tumenggung).
Penaklukan Mataram dan Pemberontakan Trunojoyo
Pada tahun 1624, Pangeran Ronggo Sukowati gugur dalam perang melawan invasi Sultan Agung dari Mataram. Setelah kemenangan Mataram, wilayah ini disatukan dengan Jamburingin dan Lambang Lor, sementara Keraton Mandhilaras dan Maseghit Ratoh dihancurkan dan digantikan dengan bangunan bergaya Mataram.
Pada tahun 1671, Pamekasan menjadi pusat pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap Mataram. Namun, pemberontakan ini berakhir pada 1679 setelah Mataram meminta bantuan VOC (Belanda). Akibatnya, mulai tahun 1705, VOC menguasai Pamekasan, dan pada 1743, pusat pemerintahan dipindahkan ke Bugih, lokasi Pendopo Kabupaten Pamekasan saat ini.
Kolonialisme Belanda dan Dampaknya
Selama masa kolonial, Belanda menerapkan sistem tanam paksa dengan menanam tebu, yang kemudian digantikan oleh tembakau pada 1861 akibat kekeringan. Pamekasan juga menjadi sentra produksi garam, yang dikontrol dan dimonopoli oleh Belanda.
Untuk mendukung perdagangan garam, jalur kereta api Pamekasan-Kalianget dibangun antara 1898-1901, namun akhirnya ditutup pada 1987. Selain itu, pada masa pergerakan nasional, Mohammad Tabrani, tokoh asal Pamekasan, mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda I.
Pendudukan Jepang dan Perlawanan Rakyat
Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Pamekasan mengalami penderitaan akibat kebijakan romusha, namun Jepang juga melatih pemuda Madura dalam Pembela Tanah Air (PETA). Setelah proklamasi kemerdekaan, Pamekasan menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda, termasuk dalam Pertempuran di depan Masjid Jamik pada 16 Agustus 1947.
Sebagai simbol perjuangan rakyat, Monumen Arek Lancor didirikan pada 1985. Pada 1948, Belanda mendirikan Negara Madura dengan ibu kota di Pamekasan, tetapi negara ini dibubarkan pada Maret 1950 setelah Madura kembali bergabung dengan Republik Indonesia.
Pamekasan dalam Indonesia Modern
Setelah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950, Pamekasan berkembang pesat di bidang infrastruktur dan pendidikan, salah satunya berkat peran Residen Madura terakhir, R. Soenarto Hadiwidjojo.
Kini, Pamekasan dikenal sebagai daerah dengan warisan sejarah yang kaya, mulai dari jejak kerajaan Islam, perjuangan melawan kolonialisme, hingga perannya dalam pergerakan nasional. Sebagai bagian penting dari Madura, Pamekasan terus berkembang tanpa melupakan akar sejarahnya.