Opini  

Tafsir Penghapusan Desa Perdikan

Mohammad Fauzi, Dewan Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD)
Mohammad Fauzi, Dewan Penasehat Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD)

Pada tanggal 4 September 1946 pemerintah (baca: pemerintah Indonesia) menghapus semua desa perdikan (vrije desa) di Indonesia. Menurut data tahun 2012, Bijblad 7847, desa perdikan mencapai 170 desa dan 13 dukuh.

Di Madura perdikan (Madura: mardikan) sebanyak 32 desa/dukuh, yang terdiri dari 19 desa dan 13 dukuh (Tauchid, 2009). Desa/dukuh tersebut antara lain: Plakaran, Mlajah, Martajasah (Bangkalan), Prajjan, Napo, Jrangoan (Sampang), Kolpajung (Pamekasan), dan Pragaan (Sumenep).

Desa perdikan menurut Schrieke (1975) posisinya dalam hukum sebagai pranata sosial (bukan fenomena hukum) yang merupakan produk sejarah. Dalam tata pemerintahan kerajaan desa perdikan adalah desa khusus yang diberikan wilayah, otonomi, dan hak istimewa oleh pemerintah kerajaan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya pada kerajaan. Pranata sosial ini di era pemerintahan kolonial Belanda dilangengkan dalam Regeling Reglemen tahun 1854 dan perubahannya Indische Staatregeling tahun 1926.

Keistimewaan hak desa tersebut di masa pemerintah kerajaan Madura menurut Kuntowijoyo (2002) berbeda dengan desa daleman dan percaton. Hak-hak istimewa tersebut seperti kebebasan mamakai payung kebesaran raja, memakai warna kebesaran yang hanya boleh dipakai raja, membuka lahan di hutan, membayar pajak, kewajiban kerja pada raja, dan pemerintahan (tidak berada di bawah adipati/kepala daerah tetapi di bawah kekuasaan raja).

Penghapusan ini ditetapkan pemerintah dalam UU No. 13 Tahun 1946. Desa perdikan yang dihapus menurut Pasal 1 UU No. 13 Tahun 1946 adalah semua desa yang dalam tata negara Belanda dinamakan “vrije desa”. Dasar pertimbangan penghapusan desa tersebut menurut Bagian Menimbang UU No. 13 UU No. 13 Tahun 1946 adalah pembentukan satu macam desa untuk menyusun masyarakat yang kokoh dalam Negara Republik Indonesia.

Kebijakan ini diinterpretasikan pelbagai kalangan sebagai upaya pemerintah untuk membangun demokrasi. Secara institusional, penghapusan hak-hak istimewa dan digantikan dengan persamaan hak-hak desa oleh pemerintah merupakan bentuk artikulatif transformasi tata pemerintahan desa tradisional-lokalistik pada desa modern-demokratis. Dengan kata lain, kebijakan ini dapat dikatakan sebagai bentuk penghapusan struktur feodal pemerintahan desa, yang selama pemerintah kolonial Belanda memarginalkan kepentingan masyarakat lapisan bawah, seperti buruh, petani, dan orang miskin.

Namun anehnya, kebijakan tersebut tidak diberlakukan juga pada kelurahan, meski secara historis sama-sama sebagai pranata sosial produk sejarah. Yakni, produk pemerintahan kolonial Belanda yang diatur dalam Regeling Reglemen 1584. Bahkan, sebaliknya di era rezim Orde Baru dan reformasi eksistensinya semakin diperkuat dalam regulasi. Di era rezim Orde Baru eksistensinya ditetapkan dalam UU No. 5 Tahun 1979 dan era rezim reformasi ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 23 Tahun 2014, PP No. 73 Tahun 2005, dan PP No. 17 Tahun 2018.

Dalam Regeling Reglemen 1584 menetapkan/mengatur bahwa dalam tata pemerintahan kolonial Belanda terdapat wilayah perkotaan dimana otonomi desa tidak dapat diberlakukan. Pengecualian ini didasarkan pada pembentukan wilayah perkotaan yang memiliki penduduk ras kulit putih/Eropa. Wilayah ini pasca kemerdekaan Indonesia oleh rezim pemerintah disebut dengan kelurahan. Jadi, secara historis kelurahan sudah terbentuk di era pemerintahan kolonial Belanda tahun 1584.