Tan Malaka, tokoh revolusioner Indonesia, memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pemikiran dan pergerakannya memberikan pengaruh besar, termasuk pada Ir. Sukarno yang mengakuinya sebagai guru politiknya.
Dilahirkan pada tahun 1897 di Pandan Gadang, Payakumbuh, Sumatra Barat, Tan Malaka tumbuh dalam keluarga religius. Ia belajar agama Islam secara mendalam dan aktif menjalani tradisi Minangkabau, termasuk belajar silat dan bermain musik.
Selain pendidikan agama, Tan Malaka mengenyam pendidikan formal di Sekolah Rendah Seuliki dan Kweekschool Fort de Kock. Di sekolah ini, ia mulai belajar bahasa Belanda dan menunjukkan minat pada seni musik.
Pada 1914, Tan Malaka melanjutkan studi ke Rijkskwekschool di Belanda. Ia menghadapi tantangan finansial dan kesehatan, tetapi pengalaman ini memperkenalkannya pada pemikiran sosialisme-komunisme dan kapitalisme-demokrasi.
Melalui bacaan surat kabar Het Volk dan De Telegraaf, Tan Malaka memahami ketidakadilan sosial. Ketertarikannya pada sosialisme-komunisme mendorongnya untuk meraih Akta Guru Kepala dan kembali ke Indonesia pada 1919.
Setibanya di Indonesia, Tan Malaka mengajar anak-anak kuli di Deli, Sumatra Utara. Ia melihat ketimpangan sosial yang mendorongnya untuk menerapkan ilmu sosialisme-komunisme dalam upaya membebaskan rakyat dari penindasan.
Pada 1921, Tan Malaka pindah ke Jawa dan bertemu tokoh Sarekat Islam seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono. Ia membangun sekolah alternatif untuk anak-anak anggota Sarekat Islam dan berhasil mengumpulkan 50 murid dalam beberapa hari.
Tan Malaka bekerja sama dengan Semaun untuk menyatukan Partai Komunis Hindia (PKH) dan SI. Ia menjadi ketua PKH pada 1921, tetapi pemerintah kolonial Hindia-Belanda menganggapnya ancaman dan mengasingkannya ke luar negeri.
Dalam masa pembuangannya, Tan Malaka berkelana ke Berlin, Moskow, dan Cina. Ia sempat bertemu Sun Yat Sen dan mendirikan Partai Repoeblik Indonesia (PARI) di Bangkok pada 1927, meski partai tersebut akhirnya dibubarkan.
Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942 setelah Belanda kalah dari Jepang. Di Jakarta, ia menulis karya besarnya MADILOG yang menjadi tonggak pemikirannya tentang materialisme, dialektika, dan logika.
Ia bekerja di Kantor Urusan Sosial di Banten dengan nama samaran Ilyas Husein. Tan Malaka membantu para romusha dengan menyisihkan gajinya untuk membeli makanan dan membuka lahan sayur bagi mereka.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Tan Malaka mendorong para pemuda untuk merebut kemerdekaan. Meskipun tidak terlibat langsung, ia merasa bahagia ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Tan Malaka turut hadir dalam rapat besar di Lapangan Ikada pada 19 Agustus 1945. Di masa awal kemerdekaan, ia aktif berdiskusi dengan tokoh-tokoh penting Indonesia dan Sukarno bahkan pernah menunjuknya sebagai kandidat penggantinya.
Sebagai tokoh revolusioner, Tan Malaka mendirikan Persatuan Perjuangan untuk mengkoordinasi perjuangan bersenjata. Namun, pemerintah menjadikannya tahanan politik pada 1947 untuk melancarkan perundingan dengan Belanda.
Setelah dibebaskan pada 1948, Tan Malaka mendirikan Partai Murba dan memperingatkan pemerintah akan kemungkinan serangan umum. Keyakinannya bahwa kemerdekaan harus dipertahankan dengan senjata membuatnya terus berjuang.
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka gugur di Kediri saat melawan militer Belanda. Ia wafat sebagai pejuang yang berkontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
Tan Malaka meninggalkan warisan intelektual berupa karya-karya monumental seperti MADILOG, Menuju Merdeka 100 Persen, Gerpolek, dan Dari Penjara ke Penjara. Pemikirannya tetap relevan sebagai inspirasi perjuangan hingga kini.