Jakarta – Perekonomian Indonesia menghadapi tekanan berat dalam enam bulan awal pemerintahan Prabowo. Faktor eksternal dan dinamika internal menjadi penyebab utama kondisi ini.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti tekanan fiskal yang signifikan tahun ini. “Penurunan ini menunjukkan tantangan fiskal yang nyata, terlebih dengan hilangnya pemasukan dari dividen BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi (Indonesia Investment Authority),” ujarnya.
Meski target pengeluaran tercapai, Wijayanto menekankan perlunya kehati-hatian pemerintah. Ia menyebut banyak program belum berjalan optimal.
Nilai tukar rupiah juga melemah terhadap mayoritas mata uang dunia. “Kita cenderung lupa bahwa dolar AS sedang menurun secara global. Tapi rupiah justru melemah terhadap 78% mata uang dunia dalam satu bulan terakhir,” katanya.
Wijayanto juga menilai Indonesia mengalami deindustrialisasi dini yang diperburuk oleh economic financialization. “Ini membuat struktur ekonomi kita rapuh dan tidak mendukung pertumbuhan sektor riil,” tambahnya.
Masalah daya beli masyarakat menjadi perhatian di tengah meningkatnya angka PHK. “Jumlah anggota BPJS Ketenagakerjaan yang masuk kategori siap kerja sangat jauh dari harapan,” jelasnya.
Pinjaman online terus meningkat di tengah lemahnya nilai tukar rupiah, terutama saat Lebaran. Kondisi ini menambah beban masyarakat dan menandakan tekanan ekonomi yang nyata.
Wijayanto juga menyinggung pengaruh kebijakan dagang Presiden Donald Trump yang masih berdampak global. Ia menyebut perang dagang telah memicu bentuk ‘perang’ lainnya sejak krisis COVID-19.
“Persepsi bahwa Trump dan tokoh seperti Elon Musk takut AS bangkrut secara fiskal juga sering kali tidak akurat,” ujarnya. Ia menambahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin pun tidak tunduk pada tekanan Trump.
Menghadapi berbagai tantangan ini, Wijayanto menyerukan konsolidasi kebijakan ekonomi nasional. Ia menilai kebijakan harus terintegrasi dan responsif terhadap perubahan global dan domestik.