Site icon Madurapers

Tellasan Topa’: Tradisi Ketupat Madura yang Penuh Makna Spiritual

Ilustrasi perayaan Tellasan Topa' di masyarakat Madura

Ilustrasi perayaan Tellasan Topa' di masyarakat Madura (Dok. Madurapers, 2025).

BangkalanTellasan Topa’ (Lebaran Ketupat) menjadi tradisi khas masyarakat Madura yang dirayakan pada hari ke-8 bulan Syawal. Tradisi ini merupakan ungkapan syukur setelah menjalani puasa enam hari Syawal.

Masyarakat Madura, mengutip NU Online, tidak sekadar merayakan dengan makanan, tetapi juga memperkuat nilai-nilai spiritual dalam kehidupan. Nilai spiritual ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w: “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan, kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka nilainya sama dengan puasa selama 1 tahun.”

Topa’ (ketupat) menjadi simbol penting dalam tradisi ini yang merepresentasikan ajaran “laku singpapat”. Ajaran tersebut meliputi puasa Ramadan, zakat fitrah, saling memaafkan, dan mempererat silaturahim (silaturahmi).

Makna ketupat juga berakar dari ajaran Sunan Bonang, yang menyebut hati bersih sebagai “Jatining Nur”. Janur yang membungkus ketupat melambangkan kebeningan hati dan keikhlasan.

Ada empat nilai spiritual dalam tradisi ini, yaitu Lebar, Lebur, Luber, dan Labur menjadi hasil dari laku keagamaan yang dilakukan dengan penuh cinta. Nilai-nilai ini menjadi basis etika sosial dalam masyarakat Madura.

Tellasan Topa’ ini, mengutip laman Pemkab Sumenep, menjadi bentuk penghayatan ibadah yang tidak berhenti pada ritual, tetapi juga meresap dalam tindakan sosial. Ketupat dibagikan sebagai sedekah kepada yang membutuhkan.

Kebersamaan dan solidaritas menjadi inti dari tradisi ini, memperkuat hubungan antarwarga. “Dalam suasana guyub, manusia menemukan rumah bagi dirinya, tempat untuk pulang dan berbagi.”

Namun, tradisi ini kini menghadapi tantangan dari arus modernisasi dan gaya hidup praktis. Ketupat yang dulu dibuat bersama kini banyak yang dibeli secara instan di warung.

Proses pembuatan ketupat dulunya menghadirkan ritual sosial dan rasa memiliki. Kini, makna itu kian memudar seiring kesibukan hidup masyarakat urban.

Tellasan Topa’ menjadi cermin bagi kita: kita masih menyantap ketupat, tetapi sering kehilangan ruh yang melingkupinya,” kata Mashuri, pengamat sosial Madura. Kutipan ini menggambarkan hilangnya nilai kebersamaan dalam tradisi yang tetap berlangsung.

Meski begitu, tradisi ini tetap menyimpan harapan untuk dihidupkan kembali dalam kehidupan modern. Nilai-nilai spiritualnya masih bisa menjadi pedoman hidup masa kini.

Yasinan dan Tahlilan masih dilakukan sebagai bentuk doa bersama untuk keselamatan. Tradisi ini membentuk kekuatan batin umat dalam menghadapi kehidupan.

Masyarakat Madura menjadikan Tellasan Topa’ sebagai cara menjaga ajaran lama yang baik sambil terbuka pada hal baru yang lebih baik. Spiritualitas lokal ini menunjukkan kekuatan agama dalam bingkai budaya.

Sesuai dengan kaidah fikih, “al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi as-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Memelihara nilai atau ajaran lama yang baik, dan mengambil nilai atau ajaran baru yang lebih baik)”, menjaga Tellasan Topa’ berarti merawat nilai luhur warisan leluhur dan membuka ruang bagi kebaikan baru yang lebih relevan.

Exit mobile version