Bangkalan – Dalam dunia filsafat, ada sebuah pandangan yang disebut verifikasionisme. Ini adalah istilah yang agak rumit, tetapi kita bisa memecahkannya menjadi potongan-potongan yang lebih mudah dimengerti.
Jadi, apa itu verifikasionisme? Nah, verifikasionisme adalah gagasan bahwa sebuah pernyataan hanya punya makna jika kita bisa menguji kebenarannya secara langsung, biasanya dengan menggunakan fakta-fakta atau pengalaman empiris. Itu berarti, jika kita tidak bisa membuktikan atau memverifikasi suatu pernyataan, maka pernyataan itu mungkin tidak bermakna dalam arti yang benar-benar penting.
Mari kita beralih sejarahnya sejenak! Istilah ini berasal dari sebuah kelompok filsuf di Wina, Austria, yang disebut Vienna Circle. Kelompok filsuf ini mulai merumuskan gagasan-gagasan ini sekitar tahun 1920-an. Anggota kelompok ini termasuk beberapa tokoh penting seperti Moritz Schlick, Hans Hahn, Otto Neurath, dan Philipp Frank.
Moritz Schlick, seorang fisikawan dan filsuf asal Jerman, adalah salah satu pendiri Vienna Circle. Dia bergabung dengan Universitas Wina pada tahun 1922 dan mulai mengembangkan gagasan-gagasan tentang pandangan filsafat tersebut bersama rekan-rekannya.
Jadi, apa yang sebenarnya dikatakan oleh verifikasionisme? Nah, ini mengatakan bahwa hanya pernyataan yang bisa kita uji secara empiris yang benar-benar memiliki makna. Ini berarti, jika kita tidak bisa membuktikan kebenaran suatu pernyataan dengan menggunakan pengalaman atau fakta, maka pernyataan itu mungkin tidak bisa dianggap bermakna.
Ada dua konsep lain yang terkait dengan pandangan filsafat tersebut: positivisme logis dan empiris logis. Kedua konsep ini memiliki beberapa persamaan, tetapi juga beberapa perbedaan.
Positivisme logis, yang juga dikenal sebagai positivisme ilmiah, menekankan pentingnya hanya menerima pengetahuan yang dapat diverifikasi secara empiris. Mereka tidak peduli dengan hal-hal yang tidak bisa dibuktikan dengan fakta atau pengalaman.
Di sisi lain, empirisme logis, yang berasal dari Austria pada waktu yang sama dengan Vienna Circle, juga menekankan pentingnya bukti empiris. Namun, empirisme logis lebih fleksibel dalam hal ini, kadang-kadang mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diuji secara langsung tetapi masih memiliki nilai ilmiah.
Meskipun verifikasionisme memiliki beberapa kelebihan, ada juga beberapa masalah dengannya. Seorang filsuf bernama Karl Popper mempertanyakan gagasan pandangan filsafat ini. Dia menyatakan bahwa ada tiga masalah utama dengan pendekatan ini.
Pertama, pernyataan eksistensial, yakni pernyataan yang mungkin benar tetapi tidak bisa diverifikasi dengan mudah, seperti “ada putri duyung”. Meskipun sulit, itu bukan berarti tidak mungkin menemukan bukti keberadaannya di suatu tempat di lautan.
Kedua, ada pernyataan yang mungkin benar tetapi sulit diuji secara langsung, seperti “semua sapi memiliki bintik hitam”. Sulit untuk memeriksa setiap sapi di dunia untuk membuktikan hal itu. Ketiga, ada kriteria makna yang dapat diverifikasi, menurut logikanya, tapi tidak ada artinya karena tidak dapat diverifikasi.
Popper mengusulkan solusi yang dia sebut falsifikasionisme. Dia mengatakan bahwa klaim ilmiah harus dapat dipalsukan, yang berarti ada cara untuk membuktikan bahwa klaim itu salah. Ini adalah cara untuk membedakan antara klaim ilmiah yang valid dan klaim yang tidak.
Intinya, verifikasionisme adalah sebuah gagasan dalam filsafat yang menyoroti pentingnya menguji kebenaran pernyataan dengan menggunakan fakta atau pengalaman. Meskipun ada beberapa masalah dengan pendekatan ini, itu masih merupakan bagian penting dari diskusi filsafat modern.