Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, prihatin anggaran riset nasional tahun 2023 yang akan dikelola Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hanya Rp2,2 triliun, Kamis (16/2/2023).
Mengutip DPR RI, hal itu menurutnya merupakan anggaran terendah sepanjang sejarah pembangunan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) nasional.
“Saya prihatin anggaran riset nasional di tahun 2023 ini menjadi yang terendah sepanjang sejarah iptek nasional,” ujar Mulyanto.
Ia menilai, hal tersebut karena BRIN tidak mampu mengkonsolidasi program semua lembaga riset di bawah naungannya. “Kepala BRIN tidak memiliki visi besar dalam mengembangkan riset nasional,” ujarnya.
Ia menjelaskan, terjadi kontraksi anggaran riset yang cukup dalam, dimana pada tahun 2017 tersedia anggaran sebesar Rp24.9 triliun (0,2 persen) terhadap PDB (produk domestic bruto).
Saat ini merosot hanya sebesar Rp2,2 triliun (0,01 persen) terhadap PDB. Dengan kata lain, menciut lebih dari satu per dua puluh kalinya.
Dia mengaku heran dengan minimnya alokasi anggaran riset tahun ini. Padahal di BRIN duduk dua orang Wakil Ketua Dewan Pengarah BRIN, yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas.
Keduanya berwenang mengatur anggaran dan perencanaan pembangunan nasional. Namun sayangnya anggaran untuk lembaga yang dipimpinnya malah minim.
Menurut dia BRIN bukan saja tidak mampu mengkonsolidasikan anggaran riset dari berbagai badan litbang kementerian teknis.
Namun juga tidak mampu menahan agar anggaran riset tersebut tidak dialihkan untuk kegiatan nonriset di kementerian teknis.
“Dengan peleburan 34 lembaga iptek kedalam BRIN, praktis anggaran riset pemerintah terpusat di dalam BRIN, yang pada tahun 2023 dialokasikan sebesar Rp2,2 triliun atau 0,01 persen terhadap PDB,” paparnya.
Tidak hanya itu, yang lebih membuat miris menurutnya karena alokasi anggaran BRIN yang tidak seberapa lebih banyak dialokasikan untuk kegiatan dukungan manajemen dari pada kegiatan riset.
Total anggaran BRIN untuk tahun 2023 sebesar Rp6,5 triliun, sekitar 65 persennya digunakan untuk kegiatan dukungan manajemen, seperti pembayaran gaji pegawai, perawatan gedung dan kendaraan dll.
Sisanya sebesar Rp2,2 triliun atau sebesar 35 persen digunakan untuk kegiatan penelitian.
Dengan keterbatasan itu, alih-alih menghemat anggaran dukungan manajemen, langkah yang diambil Kepala BRIN malah penutupan berbagai pusat riset, penghentian berbagai program strategis, dan pengkompetisian dana riset.
Selain itu juga penggunaan bersama ruang dan kursi staf, sharing alat lab, pemberhentian para honorer ahli, dll. Motifnya dalam rangka menekan biaya operasional riset.
Mulyanto menilai, BRIN bukannya unjuk kinerja berupa munculnya produk inovasi kebanggaan anak bangsa atau tampilnya prestasi para ilmuwan kita di pentas internasional, yang terjadi malah banyak pengurangan program riset.
Ia menduga kondisi tersebut terjadi akibat pemerintah salah urus kelembagaan riset.
Peleburan kelembagaan riset sarat politisasi, kapasitas kepemimpinan rendah, menurut Mulyanto pula, berujung pada kondisi BRIN yang amburadul.
Eksperimentasi kelembagaan riset seperti ini, katanya, berbahaya dan bisa memakan banyak korban.
“Peleburan kelembagaan Iptek ini gagal. Konsolidasi lebih dari dua tahun tidak membuahkan hasil. Sebaiknya kita kembalikan kelembagaan riset dan inovasi seperti sedia kala,” tegasnya. (*)