Sampang – Kabupaten Sampang kembali unjuk gigi sebagai kampiun logika tingkat tinggi. Pilkades serentak 2025 akan ditunda, dan alasannya benar-benar bikin geleng-geleng: belum ada Peraturan Pemerintah (PP). Rupanya, tanpa PP, Pilkades dianggap lebih berbahaya dari lomba panjat pinang pakai oli, Senin (02/06/2025).
Plt Kepala DPMD Kabupaten Sampang bahkan menambahkan bumbu penyedap dengan menyebutkan bahwa penundaan ini mengikuti Surat Edaran dari Mendagri dan Gubernur Jatim. Surat edaran ini, tampaknya bagi Pemkab Sampang, bukan sembarang surat – yang bisa menunda Pilkades, meski ketentuan Pilkades dalam UU No. 6/2014 masih berlaku.
Yang bikin makin seru, perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades) definitif dan Penjabat (Pj) Kades tetap tancap gas walau tanpa PP dan tanpa surat edaran. Rupanya, di Sampang, hukum itu kayak playlist Spotify: tinggal pilih sesuai suasana hati.
“Lucu ya. Pilkades disuruh nunggu PP, tapi perpanjangan jabatan Kades definitif dan Pj Kades malah langsung jalan. Ini kayak bilang belum boleh nyetir karena SIM belum jadi, tapi sudah enak-enak ngegas naik mobil dinas,” celetuk Ahmad Mudabbir, praktisi hukum Jawa Timur (Jatim) yang sudah kehabisan logika.
Mudabbir menanyakan, apa SK Bupati Sampang Nomor 188.45/279/KEP/434.013/2021 tentang penundaan Pilkades 2021 ke tahun 2025 masih berlaku? Tapi entah kenapa ya, kok jadi kayak dokumen kuno yang cuma pantas disimpan di museum birokrasi.
“Apakah SK itu masih hidup, masih sehat, belum pensiun. Tapi mengapa yang dipakai malah alasan lain?” Tanya Jabir (panggilan akrab Ahmad Mudabbir) dengan ekspresi antara kasihan dan pengen ngakak.
Ia menyebut UU No 3/2024 sah berlaku dan tak perlu nunggu-nunggu PP, kecuali buat hal-hal (ketentuan, red.) teknis yang benar-benar baru yang harus diatur dalam PP. Tapi ya sudahlah, di Sampang, UU bisa dianggap seperti saran dari Google Maps—boleh diikuti, boleh juga dilewati.
“Kalau perpanjangan jabatan Kades definitif dan Pj Kades, mereka langsung comot UU baru. Tapi buat Pilkades, mendadak butuh segala tetek-bengek dulu. Konsistensinya luar biasa, kayak sinyal WiFi di desa: kadang ada, kadang ngilang,” kata Jabir sambil memutar bola mata.
Ia pun heran kenapa Pemkab Sampang suka sekali main tebak-tebakan aturan atau hukum. Kalau cocok, dijalankan. Kalau enggak, tunggu ‘petunjuk dari langit’ alias PP sesuai surat edaran. Logikanya lebih lincah dari akrobat sirkus.
“Hukum (aturan) versi kampungan itu kayak buffet hotel: ambil yang enak, skip yang bikin mules. Kalau nggak suka UU, tinggal bilang lagi nunggu PP. Gampang!” Ujarnya dengan nada santai penuh getaran satire.
Jabir menilai gaya main begini bukan cuma bikin bingung warga, tapi juga bisa bikin ahli hukum kena migrain akut. Menunda Pilkades tanpa dasar yang jelas itu bukan cuma pemikiran mumet logis tingkat tinggi, tapi juga bikin demokrasi desa semaput.
Ia meminta Pemkab Sampang berhenti sembunyi di balik dalih administratif setengah matang yang aromanya sudah basi. Demokrasi desa itu bukan eksperimen masak-masakan, tapi soal hak rakyat.
Sampang butuh pejabat yang berpikir pakai nalar, bukan yang andalkan feeling birokrasi. Warga butuh kepastian, bukan pertunjukan logika bolak-balik yang lebih rumit dari sinetron azab.
Kalau begini terus, jangan heran kalau rakyat lebih percaya komedi satire di YouTube daripada konferensi pers Pemkab Sampang. Karena ya jujur saja, kadang lucu-lucuannya mereka terasa lebih logis dari keputusan aslinya.