Site icon Madurapers

Bathoro Katong, Seorang Priyayi Penyiar Agama Islam

Patung Bathoro Katong di Ponorogo Jawa Timur

Bathoro Katong merupakan sosok tangguh pendakwah agama Islam di wilayah sebelah Timur Gunung Lawu dan sebelah Barat Gunung Wilis. Wilayah ini di era sekarang meliputi wilayah Kabupaten Ponorogo, Madiun, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ngawi. Dakwah agama Islam dilakukan oleh Bathoro Katong atas perintah Sultan Demak, Raden Patah (Jin Bun/Raden Hasan), yang merupakan kakaknya sendiri.

Bathoro Katong, juga dikenal sebagai pendiri dan adipati pertama Kabupaten Ponorogo. Dalam konteks sejarah budaya Madura, dialah yang memperkenankan orang Sumenep, Madura, belajar tentang sate pada masyarakat Kadipaten Ponorogo. Menurut sejarahnya, proses pembelajaran itu terjadi ketika Harya Jaran Panoleh, Adipati Kadipaten Sumenep dan rombongannya, berkunjung ke kakak saudaranya, Adipati Lembu Kanigoro (Bathoro Katong), di Kadipaten Ponorogo.

Bathoro Katong diperkirakan lahir 1447 M dan wafat 1517 M di usia 70 tahun di Kadipaten Ponorogo. Dia merupakan anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabumi) dari seorang selir bernama Siu Ban Ci, Putri Tan Go Wat (alias Syekh Bentong) dari Dinasti Ming, Tionghoa. Versi lain menyebutkan dia anak Prabu Brawijaya V dari seorang selir yang bernama Putri Bagelan, yang beragama Islam.

Bathoro Katong memiliki nama asli Lembu Kanigoro. Nama kecilnya bernama Raden Joko Piturun dan Raden Harak Kali. Dia adalah adik Raden Patah, Sultan Kerajaan Demak. Dia juga merupakan seorang murid dari Sunan Kalijaga. Dari Sunan Kalijaga, dia banyak belajar ilmu agama, terutama ilmu laku dan ilmu marifat.

Bathoro Katong terkenal sebagai Adipati Ponorogo dan pendakwah agama Islam di wilayah Kadipaten Ponorogo dan sekitarnya. Dakwah Islam Bathoro Katong signifikan dalam proses islamisasi masyarakat Kadipaten Ponorogo dan sekitarnya. Dakwahnya pertama kali dilakukan di kalangan pemerintahan dan masyarakat sekitar pemerintahan Kadipaten Ponorogo.

Dakwahnya kemudian berlanjut ke masyarakat Kadipaten Ponorogo. Dakwah ini terasa berat karena masyarakat ketika itu mayoritas masih beragama Hindu dan Buddha. Oleh karena itu, dia menggunakan pendekatan dan strategi dakwah yang tepat agar dakwahnya diterima di masyarakat.

Dalam melaksanakan dakwah Islam, Bathoro Katong menggunakan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan dakwah ini merupakan suatu pendekatan yang moderat dalam melakukan islamisasi masyarakat Kadipaten Ponorogo.

Strategi dakwahnya menggunakan seni-budaya, pernikahan, dan pendidikan. Media dakwah seni-budayanya menggunakan Reog Ponorogo dan grebek suro dengan memasukan unsur-unsur Islam dalam penggelarannya. Untuk mendukung efektivitas dakwahnya, Bathoro Katong menambah peralatan dan unsur-unsur Islam. Suatu instrumen dakwah yang terkompilasi baik sehingga implementasinya mudah dan diterima masyarakat.

Media dakwah melalui pernikahan dilakukan dengan cara memperisteri putri musuhnya, Ki Ageng Kutu (Ki Demang Suryongalam), yang bernama Niken Gandhini. Ki Ageng Kutu ini ahli ilmu sihir dan kanuragan yang berkuasa di wilayah Wengker.

Dia menentang kekuasaan Raden Patah yang beragama Islam. Karena ini menjadi ancaman, Raden Patah memerintahkan Bathoro Katong, adiknya sendiri, untuk memberantas pembertontakan Ki Ageng Kutu. Melalui metode pernikahan tersebut, Bathoro Katong mampu menundukkan/mengalahkan Ki Ageng Kutu.

Media dakwah melalui pendidikan dipusatkan di masjid. Masjid, selain sebagai tempat shalat, juga dijadikan sebagai pusat mengaji. Masjid ini kemudian dibangun di lingkungan Kadipaten dan masyarakat Kadipaten Ponorogo. Salah satu masjid yang dibangun pada masa kekuasaanya adalah Masjid di Desa Mirah, Kecamatan Sumoroto, Kabupaten Ponorogo.

 

Exit mobile version