Site icon Madurapers

Cek Data Status Rezim Politik/Pemerintahan Era Jokowi dan SBY

Mohammad Fauzi, alumni Magister IIS Universitas Airlagga (UNAIR), adalah peneliti Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) dan PT Tri Dharma Cendekia.

Mohammad Fauzi, alumni Magister IIS Universitas Airlagga (UNAIR), adalah peneliti Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) dan PT Tri Dharma Cendekia.

Pernyataan Anies Baswedan (Anies, red.) bahwa Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) menurun menjadi perdebatan publik. Pernyataan itu kemudian memicu sikap pro-kontra sebagian kalangan masyarakat. Anies, Capres Nomor Urut 1 (satu) dalam Pilpres (Pemilihan Presiden) tahun 2024, memaparkan hal tersebut dalam sesi pemaparan tema “Penguatan Demokrasi” Debat Pertama Capres 2024. Kegiatan debat Capres ini diselenggarakan KPU RI (Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia) di Kantor KPU RI pada Pukul 19.00 WIB, Selasa, 12 Desember 2023.

Dalam pemaparannya Anies Baswedan mengatakan,” Indeks demokrasi kita (Indonesia, red.) menurun. Bahkan, pasal kewenangan karet kepada pengkritik, misalnya UU ITE atau Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu kebebasan berbicara terganggu, Selasa (12/12/2023).”

Karena pernyataan ini berada di area kontestasi politik (poiltical contestation) Pilpres tahun 2024, sontak sebagian kalangan terkait bereaksi. Ada yang meresponnya positif dan ada juga yang negatif. Datanya-pun dilontarkan oleh kalangan-kalangan ini untuk membangun argumentasinya, yang sebagian besar menggunakan data BPS (Badan Pusat Statistik) dan Economist Intelligence Unit (EIU).

Namun, sayang sekali pendapat tersebut tidak menyajikan secara komprehensif (luas dan lengkap, red.) data perbandingan era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahan sebelumnya. Analisisnya hanya pada era Pemerintahan Jokowi dan jikapun diperbandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya, itupun hanya pada pertengahan-akhir era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Terlepas dari kepentingan politik dan subjektivitas, penilaian “benar tidaknya” pernyataan Anies adalah logis dan rasional (sesuai dengan data empirik) apabila dianalisis dengan menggunakan “metode perbandingan” terhadap unit pengamatan “status rezim politik/pemerintahan antarperiode pemerintahan”. Perbandingannya, paling tidak atau setidaknya, antara periode Pemerintahan Jokowi (tahun 2014-2023) dan Pemerintahan SBY (tahun 2004-2014).

Freedom House, organisasi nirlaba yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat, menyajikan data status rezim tersebut. Berdasarkan data Freedom in the World (FIW) Freedom House, status rezim politik era Pemerintahan Jokowi (tahun 2014-2023) adalah setengah demokrasi (partly free) dengan skor demokrasinya (kebebasan) sebesar 3 poin. Berbeda dengan Pemerintahan Jokowi, era SBY status rezim politiknya adalah demokrasi (free) dan setengah demokrasi.

Di awal memerintah tahun 2004, status rezim politik era Pemerintahan SBY adalah setengah demokrasi dengan skor 3 poin. Status rezim ini kemudian berubah menjadi demokrasi (democracy) dengan skor 2,5 poin di tahun 2005-2013. Sayang, pada akhir masa jabatannya, yakni tahun 2014, statusnya kembali menjadi setengah demokrasi (pseudo-democracy or partly free) dengan skor 3 poin.

Apabila dibandingkan dengan era Pemerintahan SBY, menggunakan data Freedom House ini adalah sangat jelas, dimana secara empirik bahwa era Pemerintahan Jokowi status rezim politik/pemerintahannya merosot atau menurun menjadi setengah demokrasi.

Variabel yang membuat status rezim era Pemerintahan Jokowi merosot ke setengah demokrasi, berdasarkan data Freedom House, adalah karena status variabel kebebasan sipil (civil liberties) di Indonesia meningkat ke arah tidak demokratis. Sub variabel kebebasan sipil yang digunakan oleh Freedom House adalah: (1) kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, (2) hak berasosiasi dan berorganisasi, (3) aturan hukum, dan (4) otonomi personal dan hak individu.

Indikator yang digunakan Freedom House untuk menilai kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, adalah: (1) kebebasan dan independensi pers, (2) ekspresi keyakinan di depan publlik, (3) kebebasan akademik, dan (4) kebebasan berekspresi pandangan politik. Indikator hak berasosiasi dan berorganisasi, meliputi: (1) kebebasan berkumpul, (2) kebebasan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, NGO) terlibat dalam isu HAM (Hak Asasi Manusia), dan (3) kebebasan berserikat.

Indikator aturan hukum, meliputi: (1) independensi peradilan, (2) proses hukum pidana dan perdata, (3) perlindungan dari perang, dan (4) keseteraan hukum. Indikator otonomi personal dan hak individu, meliputi: (1) kebebasan bergerak, (2) hak kepemilikan, (3) perlindungan dan kebebasan sosial, dan (4) kesetaraan kesempatan dan kebebasan dari eksploitasi ekonomi.

Buktinya, menggunakan variabel/indikator tersebut hasil survei Freedom House menemukan, bahwa di era Pemerintahan SBY (tahun 2005-2012) skor kebebasan sipil negara Indonesia adalah sebesar 3 poin, sedangkan di era Pemerintahan Jokowi (2014-2023) sebesar 4 poin. Jadi, menurut data Freedom House ada peningkatan skor variabel kebebasan sipil ke arah tidak demokrasi sebesar 1 poin.

Hal ini berbeda dengan status hak-hak politiknya (political rights), dimana era Pemerintahan SBY dan Jokowi menurut survei Freedom House status rezimnya adalah sama-sama bebas dengan skor sebesar 2 poin. Sub variabel yang digunakan Freedom House untuk menilai hak-hak politik ini adalah: (1) proses pemilu, (2) pluralisme dan partisipasi politik, dan (3) fungsi pemerintahan.

Indikatornya, proses pemilu, meliputi: (1) kejujuran dalam pemilu, (2) kebebasan pemilihan legislatif, dan (3) penyelenggaraan pemilu. Indikator pluralisme dan partisipasi politik, meliputi: (1) hak berorganisasi dalam partai politik, (2) peluang oposisi dalam pemilu, (3) kebebasan pilihan politik masyarakat, dan (4) kebebasan hak politik kelompok tertentu (SARA) dalam pemilu. Indikator fungsi pemerintahan, meliputi: (1) kepala pemerintahan dan perwakilan legislatif nasional yang dipilih secara bebas menentukan kebijakan pemerintah, (2) perlindungan terhadap korupsi, dan (3) transparansi pemerintah.

 

Mohammad Fauzi, alumni Magister IIS Universitas Airlagga (UNAIR), adalah peneliti Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) dan PT Tri Dharma Cendekia.

Exit mobile version