Jakarta – Defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 diproyeksikan mencapai Rp616,20 triliun, naik Rp93,37 triliun atau 17,87 persen dari defisit tahun 2024 yang sebesar Rp522,83 triliun. Peningkatan ini mencerminkan kebutuhan pembiayaan anggaran yang semakin besar untuk menutup defisit fiskal yang terus melebar.
Sebagai respons atas kenaikan defisit ini, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menekankan efisiensi belanja negara. Inpres ini menginstruksikan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk melakukan penghematan anggaran guna menekan lonjakan defisit.
Efisiensi yang ditargetkan mencapai Rp306,69 triliun, terdiri dari Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah. Jika kebijakan ini berjalan efektif, defisit APBN 2025 bisa ditekan menjadi Rp309,51 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan proyeksi awal dalam UU Nomor 62 Tahun 2024.
Namun, Ekonom UPN “Veteran” Jakarta, Achmad Nur Hidayat, seperti yang diberitakan di Tempo, Jumat (31/01/2025), memberikan pandangan berbeda dengan memperkirakan defisit APBN 2025 bisa membengkak hingga Rp800 triliun. Ia menilai berbagai program pemerintah yang membutuhkan anggaran besar berpotensi membuat defisit semakin melebar di luar kendali.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada lonjakan defisit adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang cakupan penerimanya diperluas hingga 82,5 juta orang. Program ini diperkirakan akan menambah beban anggaran hingga Rp100 triliun, di luar kebutuhan fiskal lainnya.
Selain itu, program swasembada pangan juga menyedot anggaran besar, terutama untuk investasi di sektor pertanian, subsidi pupuk, serta infrastruktur irigasi. Jika tidak dikelola dengan baik, program ini bisa membebani APBN lebih dari yang telah dianggarkan.
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan, mengingat proyek ini membutuhkan dana besar yang bersumber dari APBN. Meski pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar pendanaan berasal dari investor swasta, realisasi investasi masih belum sepenuhnya sesuai harapan.
Dari perspektif ekonomi, menurut Ahmad Wahyudin, kandidat Doktor Ilmu Manajemen UM, kenaikan defisit yang signifikan dapat memicu peningkatan utang pemerintah. Jika efisiensi belanja tidak berjalan optimal, pemerintah berpotensi mencari tambahan pembiayaan melalui penerbitan surat utang, yang berisiko menambah beban bunga utang di masa mendatang.
Selain itu, defisit yang tinggi bisa melemahkan kepercayaan investor terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Jika kondisi ini berlanjut, rupiah bisa mengalami tekanan, suku bunga bisa naik, dan pertumbuhan ekonomi bisa terganggu.
Dengan berbagai tantangan ini, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan efisiensi benar-benar dijalankan secara optimal. Tanpa langkah konkret dalam pengendalian anggaran, defisit yang terus membengkak dapat membawa dampak negatif bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.