Site icon Madurapers

Dialektika Kekuasaan dan Kemiskinan di Kabupaten Sampang

Wahyudi, Pakar Linguistik Dosen Universitas Bahaudin Mudhary Madura (UNIBA Madura), alumni Magister Linguistik Universitas Sebelas Maret (UNS)

Wahyudi, Pakar Linguistik Dosen Universitas Bahaudin Mudhary Madura (UNIBA Madura), alumni Magister Linguistik Universitas Sebelas Maret (UNS) (Dok. Madurapers, 2025).

Pasca pelantikan Bupati terpilih Kabupaten Sampang oleh Presiden Prabowo, harapan baru menggema di tengah masyarakat. Namun, acapkali muncul inkonsistensi dalam kepemimpinan; janji-janji perubahan yang diucapkan kerap berbanding terbalik dengan kenyataan, yang justru berjalan di jalan sunyi yang berbeda.

Dalam momen ini, kekuasaan tampak sebagai panggung besar yang memanggil pemimpinnya untuk beraksi. Namun, publik tahu, kekuasaan bukan sekadar jabatan, tetapi tanggung jawab atas derita dan asa rakyat.

Kekuasaan di Sampang selama ini hadir sebagai simbol, lebih banyak merayakan kekuatan daripada melayani kebutuhan. Pelayanan publik berjalan perlahan, seolah waktu di Sampang berdetak lebih lambat dari daerah lain.

Pembangunan di Sampang pun seperti narasi yang setengah selesai, menjanjikan kemajuan tetapi terhenti di batas wacana. Jalanan yang rusak dan fasilitas umum yang terbengkalai menjadi saksi bisu janji-janji yang belum ditepati.

Di tengah kekuasaan yang mengalir dari satu pemimpin ke pemimpin lain, masyarakat Sampang tetap bergulat dengan kemiskinan. Mereka seolah hidup di luar narasi kemajuan, seperti cerita lama yang terlupakan.

Sampang selalu mengisi posisi puncak dalam daftar kemiskinan di Jawa Timur. Kondisi ini bukan hanya persoalan ekonomi, melainkan cermin dari bagaimana kekuasaan memahami dan mengelola makna kesejahteraan.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Sampang terus berada di posisi terbawah. Di sini, pembangunan manusia tampak terpisah dari pembangunan fisik; tubuh kota dibangun, tetapi jiwa masyarakat dibiarkan rapuh.

Di balik angka-angka statistik itu, ada wajah-wajah yang menunggu untuk diakui keberadaannya. Masyarakat seolah hidup dalam bayang-bayang kekuasaan yang sibuk dengan dirinya sendiri.

Setiap pemimpin membawa harapan, tetapi harapan itu mudah larut dalam labirin kekuasaan. Pemimpin sering lupa, kekuasaan sejatinya adalah ruang pengabdian, bukan sekadar arena pencitraan.

Dalam konteks ini, kekuasaan di Sampang seakan bermain-main di permukaan realitas. Sementara realitas sejati masyarakat—kemiskinan dan keterbelakangan—terus mengakar di dalam kehidupan sehari-hari.

Kekuasaan perlu menghadirkan kehadiran yang otentik, bukan sekadar bayangan kekuatan. Kehadiran itu mesti mewujud dalam kebijakan yang memihak pada yang terpinggirkan.

Rakyat Sampang membutuhkan pemimpin yang melihat lebih dalam daripada sekadar angka dan laporan. Mereka memerlukan pemimpin yang memahami makna hidup yang dijalani dalam kemiskinan.

Jika kekuasaan hanya berputar di lingkaran retorika, maka kemiskinan akan tetap menjadi narasi utama di Sampang. Karena kemajuan bukan hanya soal pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan makna hidup rakyat.

Bupati terpilih dihadapkan pada pilihan untuk keluar dari pola kekuasaan lama. Memimpin bukan sekadar menjalankan kekuasaan, tetapi membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan struktural.

Akhirnya, kekuasaan di Sampang harus berani meruntuhkan ilusi kekuatan semu. Hanya dengan itu, kemiskinan yang telah menjadi takdir semu dapat diubah menjadi masa depan yang penuh harapan.

 

Wahyudi, Pakar Linguistik Dosen Universitas Bahaudin Mudhary Madura (UNIBA Madura), alumni Magister Linguistik Universitas Sebelas Maret (UNS).

Exit mobile version