Bangkalan – Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bangkalan berdalih tidak memiliki kapasitas untuk memberikan tegoran atau ketegasan atas pencemaran nama baik pondok pesantren (ponpes) terkait peristiwa pencabulan beberapa santri di Socah, Kamis (31/10/2024).
Informasi yang dihimpun oleh media Madurapers, nama ponpes tersebut adalah Raudlatul Ulum Kaseman, Desa Parseh, Kecamatan Socah yang dibantah oleh Kemenag, dikarenakan yayasan tersebut tak patut diklaim pondok pesantren, melainkan yayasan pendidikan.
Hal itu dibenarkan oleh Kepala Kemenag Kabupaten Bangkalan, melalui Kasi Pondok Pesantren Miftahul Arifin. Ia mengakui bahwa Raudlatul Ulum Socah bukan ponpes, melainkan yayasan pendidikan yang tidak ada kaitannya dengan Kemenag.
“Perbedaan ponpes dan yayasan, kalau yayasan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sedangkan pondok pesantren adalah kewenangan Kementerian Agama (Kemenag) yang sudah terdaftar atau memiliki izin,” kata Miftah saat ditemui awak media di tempat kerjanya, Kamis (31/10/2024).
Ia membeberkan, syarat untuk mendirikan pondok pesantren harus melengkapi arkanul ma’had atau rukun-rukun pesantren sebagai syarat utama untuk memiliki izin pondok pesantren dari Kemenag.
“Sejauh ini, Raudhatul Ulum Socah belum melakukan pengajuan atau tidak memiliki izin dari Kemenag,” terang dia.
Rukun-rukun pesantren, lanjut pria kelahiran Kamal itu, perlu memiliki 5 poin, yaitu: (1) keberadaan kiai, (2) keberadaan satri mukim, (3) keberadaan kitab, (4) keberadaan asrama, dan (5) keberadaan mushala atau masjid. Hal itu, menurut Miftah sebagai syarat mengajukan izin pondok pesantren yang akan menjadi pengawasan dan binaan Kemenag.
Selain itu, ia mengaku ada syarat lain yang perlu dipenuhi, yaitu syarat administratif, seperti Akta Pendirian Kemenkumham atau yang disebut badan hukum sebagai bentuk perlengkapan syarat secara legalitas hukum.
“Kalau tidak memenuhi syarat-syarat itu berarti bukan pondok pesantren. Artinya pondok yang tidak memiliki izin, tentu belum terdaftar ke Kemenag, kami tidak mempunyai wewenang untuk menegor atau memberikan penegasan kepada yayasan tersebut,” terangnya.
Disinggung soal ketegasan Kemenag mengenai klaim nama pondok pesantren, pihaknya berjanji akan menelusuri lebih lanjut, sebab itu sudah mencederai nama baik pondok pesatren. Ia menegaskan tidak sepatutnya menyebutkan serta klaim nama pondok pesantren, karena secara legalitas Raudlatul Ulum tidak memilki izin dari Kemenag.
“Sejauh ini, sesuai dengan pantauan Kemenag Bangkalan, kenapa diklaim ponpes? Karena ada plakat atau plang tertera pondok pesantren, yang mana itu tidak patut untuk dijuluki ponpes karena belum terdaftar dan tidak mempunyai izin dari Kemenag,” tegasnya.
Pihaknya juga akan menelusuri dan memastikan keberadaan yayasan tersebut. Sebab, hal itu sudah melanggar undang-undang pesatren, yang mana setiap pondok pesantren harus memiliki izin dari Kemenag. Oleh sebab itu, dirinya mengaku telah mensosialisasikan UU tersebut kepada masyarakat.
“Kalau kita mengacu pada UU Pesantren, setiap pondok pesantren harus memiliki izin atau terdaftar ke Kemenag supaya bisa diawasi dan dibina secara intensif dari Kemenag,” tukas Miftah.
Walaupun ada UU Pesantren, dirinya mengaku tidak bisa memaksa masyarakat untuk berizin. Sebab itu adalah mindset yang tidak bisa dipaksa, tetapi Kemenag tetap mensosialisasikan UU tersebut.
“Kami sampaikan dalam undang-undang tidak memaksakan siapapun untuk berizin, hanya menunjuk persyaratan untuk melakukan dan memiliki izin pondok pesantren,” pungkasnya.