Bandung – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), menurut konsultan politik terkenal Eep Saefulloh Fatah mengalami 4 (empat) krisis. Empat krisis ini adalah: (1) krisis moral, (2) krisis dukungan politik, (3) krisis kebijakan, dan (4) krisis elektoral, Rabu (13/12/2023).
Eep, yang juga merupakan CEO PolMark Research Centre, ini menyampaikan krisis-krisis tersebut pada acara Pasamoan Masyarakat Sipil Jawa Barat yang mengambil tema “Menyoal Rungkadnya Demokrasi dan Mundurnya Reformasi ke Titik Nol”, Selasa (12/12/2023).
Melansir kanal YouTube Meja Bundar, Eep melihat Indonesia sedang menghadapi masalah krisis. Pertama, krisis moral di kalangan elit politik. “Krisis ini muncul saat pemerintah melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 (TAP MPR ini tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), red.) dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dengan terang benderang mempertontonkan nepotisme,” papar Eep.
Kedua, krisis dukungan politik Pemerintahan Jokowi. “Sebelum ada penetapan capres-cawapres dan koalisi dalam Pilpres 2024, dukungan politik untuk Jokowi 80% datang dari 81% kursi di DPR RI. Ini adalah dukungan terbesar sepanjang hasil Pemilihan Presiden secara langsung,” paparnya.
Sejak penetapan capres-cawapres, katanya, terjadi krisis dukungan politik pemerintahan ini. Pasalnya, sebanyak 54,6% kursi di DPR sudah di luar Pemerintahan Jokowi. “Tiga partai (NasDem, PKB, dan PKS, red.) bersama AMIN (Anies-Muhaimin, red.), sementara dua partai (PDI-P dan PPP, red.) bersama Ganjar-Mahfud. Sisanya pendukung presiden, yaitu 45,4% (Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, red.),” jelas Eep.
Namun, menurut konsultan ahli politik alumni UI ini, pada titik ini, belum terjadi radikalisasi di DPR RI. Agenda pemakzulan (Presiden Jokowi, red.) hanya berakhir di panggung diskusi dan tidak menjadi agenda politik.
Ketiga, krisis kebijakan atau gagalnya kebijakan. “Selama ini kita dicekoki hasil survei yang tidak tuntas, berupa tingkat kepuasan pemilih terhadap Presiden Jokowi. Ada yang menyebut mencapai 75%, ada juga yang di atas 80%,” paparnya.
Kontradiksi dengan survei-survei tersebut, survei PolMark tidak hanya menyoroti kepuasan publik pada Presiden Jokowi, tapi juga menyampaikan pertanyaan lain terkait dengan penilaian pemilih terhadap keadaan mereka. Seperti kenaikan harga bahan pokok, korupsi, pembangunan infrastruktur, dan kemudahan mencari pekerjaan.
Hasilnya (hasil survei PolMark, red.), ungkap Eep, terkait kasus-kasus tersebut jawaban publik buruk. “… Publik dan pemilih menilai keadaan tidak baik-baik saja,” ungkapnya.
Keempat, krisis elektoral. Menurut hasil surveinya, dalam Pilpres 2024 ia menemukan kurang dari 40% akan memilih Prabowo-Gibran yang merepresentasikan Jokowi. Bahkan, di segmen pertanyaan lain, menemukan bahwa hanya 20% lebih sedikit yang mengatakan Presiden Jokowi yang mereka timbang ketika akan memilih Capres-Cawapres di Pilpres 2024.